Oleh
: D. Rasyid Albar*
“Seharusnya antum semua, sebagai mahasantri, dan sebagai
kakak bagi adik-adiknya di SMP dan SMA, mampu memberi contoh yang terbaik.
Kalau shalat, selalu menjadi yang terdepan. Datang sebelum adzan berkumandang.
Bukan berangkat ketika iqamah, bla... bla... bla...” kata salah seorang ustadz
saya di pondok.
Sobat API, mungkin di antara kita ada yang sedang bersekolah di SMP
atau SMA. Atau mungkin kuliah (seperti saya). Pastinya kita punya adik, bukan.
Mungkinn satu, dua dan seterusnya. “Tapi saya anak bungsu”, atau ,“Saya anak
tunggal,” kata sebagian dari kalian, misal. Menjadi anak bungsu ataupun anak
tunggal bukan berarti kita tidak punya adik. Kita punya sepupu yang lebih kecil
dari kita, anak tetangga kita, atau, seperti dalam kasus saya di atas, karena saya
nyantri di sebuah pondok pesantren, adik-adik kelas saya, yang di SMP dan
SMA, tentunya menjadi adik saya sendiri.
Nah, sekarang kita sudah tahu kalau kita punya adik. Artinya, kita
adalah seorang kakak. Dan sebagai kakak, kita mesti menjadi contoh, teladan,
dan panutan bagi adik-adik kita. Seorang adik cenderung mengikuti tingkah laku
kakaknya. Maka tidak jarang, ketika adik kita berbuat salah atau dilarang
berbuat sesuatu, nama kita disebut-sebut olehnya. “Tapi, bunda, bang Albar
juga bla... bla... bla...,” kira-kira begitu kata adik saya di rumah, ketika
dilarang untuk melakukan sesuatu. Bagi yang nyantri seperti sayapun
juga, mungkin, sering mendengar adik kelas berkata, “Tapi, Ustadz, kakak SMA
aja boleh begini dan begitu,” atau,”Kakak mahasiswa kok boleh begini dan
begitu. Kenapa kami dilarang?”
Sobat API, segala perbuatan kita yang tertangkap kamera adik kita
akan terekam dengan baik dalam memori mereka. Oleh karenanya, kalau ingin punya
adik yang shalih dan shalihah, harus jadi shalih/shalihah terlebih
dahulu. Tapi, lagi-lagi karena kita hanyalah manusia biasa, terkadang kita
kurang peka, alias cuek bebek,
terhadap hal-hal seperti ini. Namun, hal itu wajar, jika kita masih mau
menyadari, mengakui dan bertekad untuk merubah sikap kita. Yang jadi masalah
besar, terkadang justru malah kita sebagai kakak yang iri terhadap perlakuan
orangtua, guru atau ustadz kita kepada adik-adik kita. Tidak jarang kita
mengeluh ingin disamakan dengan mereka. Kalau sudah begini, mau jadi apa kita?!
Nah, makanya, mulai dari sekarang, mumpung masih ada waktu, kita
masih bisa meruba hal-hal buruk agar kita mampu menjadi contoh dan teladan yang
baik bagi adik-adik kita.
Eit. Masih ada satu masalah yang terlewat. Yang tentunya ini tak
kalah penting. Baca lagi paragraf pembuka! Pahami! Kalian tahu skenarionya. Ya,
di situlah masalahnya. Terkadang orangtua, guru, dan ustadz menginginkan
anak-anaknya atau menyuruh berbuat begini dan begitu. Tapi terkadang lupa diri.
Dirinya sendiri belum begini dan begitu. “Nak, belajar!” kata seorang ibu yang
sedang menonton sinetron. Seorang ayah melarang anaknya mencuri, karena itu
perbuatan dosa. Namun tanpa sadar, atau memang sengaja, mengakali
termis/meteran listrik biar bagaimana bisa pakai banyak bayar sedikit. Atau
seperti dalam kasus saya, santri-santrinya yang lebih tua diperintahkan untuk
datang ke masjid lebih awal dari adik-adiknya, sebagai contoh bagi mereka.
Tapi, kenyataannya, ustadz, pengasuh/mushrifnya selalu datang
belakangan.
Ups, saya bukan ingin menjelek-jelekkan seseorang atau suatu lembaga.
Saya cuma ingin agar kita sama-sama membuka mata. Jadi, jangan mimpi punya
anak-anak atau santri-santri yang shalih dan shalihah jika kita belum bisa
memosisikan diri sebagi seorang yang shalih/shalihah.
Jadi, Sobat. Bukan
ingin menyalahkan dan tidak mau disalahkan. Hanya ingin kita sama-sama bisa
memetik hikmahnya. Wallahu a’lam.
*) Penulis adalah anggota API (AsosiasiPenulis Islam) dan tinggal di
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..