Oleh: Ridwan Yahya*
Jika kita sebagai orang muslim jeli memandang suatu fenomena yang
terjadi di sekitar kita, yang awalnya kita beranggapan bahwa hal
demikian adalah suatu kewajaran yang sudah terjadi di kalangan
masyarakat. Bahkan, kita pun sudah memandangnya sebagai sesuatu yang
bisa mendatangkan manfaat pula. Padahal, tanpa kita sadari bahwa itu
semua ternyata bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh agama
kita.
Seiring dengan statement
di atas, akhir-akhir ini kita telah melewati sebuah momen yang selalu
dibumbui dengan berbagai macam kemeriahan dan euforia megah di dalamnya,
yakni perayaan tahun baru masehi. Hampir di semua belahan dunia
manapun, sibuk mempersiapkan acara-acara untuk menyambut bergulirnya
pergantian tahun masehi tersebut. Suasana yang serba ramai dan meriah
yang tercipta pada setiap detiknya, penuh diwarnai dengan semaraknya
tiupan terompet dan letusan kembang api di udara yang menandakan bahwa
tahun baru itu telah tiba.
Untuk menghadirkan atmosfer megah semacam itu, tidak sedikit acara yang
diselenggarakan menelan biaya berjuta-juta. Bahkan, lebih. Ada pula
yang mencapai kisaran miliaran rupiah, lenyap begitu saja dalam larutan
acara tersebut.
Contoh, mengutip dari situs jakartapress.com yang telah disimpulkan,
bahwa perayaan tahun baru masehi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII)
pada pergantian tahun 2009-2010 kemarin menghabiskan biaya sekitar 2
miliar rupiah. Sungguh, nominal angka yang sangat fantastis. Namun,
sayang uang sebesar itu habis sekadar untuk meluncurkan kembang api
dalam tempo waktu sekitar 25 menit saja.
Dan dengan tanpa disadari oleh pikiran kita, bahwa uang yang sudah
digelontorkan tadi hangus begitu saja bak tersihir keindahan sesaat
kembang api.
Dari perihal di atas, maka terbayanglah oleh kita bahwa yang demikian
itu adalah suatu perbuatan yang dengan jelas agama kita tidak
membenarkannya sama sekali. Sungguh, tak terkira sikap kesia-siaan yang
ditampakkan oleh orang semacam mereka itu. Dan tak ubahnya pula dengan
sikap mubazir yang menjadi karakter khas syaithan dan kawan-kawannya.
Firman Allah swt. yang artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara syaithan dan syaithan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya.” (QS. al-Israa’ [17]: 27).
Di samping itu, momen perayaan tahun baru masehi dapat pula mencemari
aqidah murni kita terhadap keesaan Allah yang telah tertancap di hati
hambaNya yang beriman. Pasalnya, berdasarkan kesimpulan yang dipetik
dari ditus Eramuslim.com edisi 29/12/2009 dinyatakan bahwa tahun baru 1
januari yang sedari dulu kita kenal sebagai hari libur umum nasional,
ternyata sekarang telah dijadikan sebagai hari sucinya agama Kristen.
Dan di beberapa Negara pun telah mengaitkannya dengan sebuah ritual
keagamaan yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan agama Islam. Lihat
saja suatu pantai yang ada di Negara Brazil, tepatnya pada tengah malam
setiap tanggal 1 januari orang-orang sibuk melaksanakan prosesi ritual
dengan aksi penaburan bunga di laut dan penguburan berbagai jenis
buah-buahan, seperti mangga, semangka dan pepaya di pasir pantai
tersebut. Ritual itu merupakan sebuah tanda penghormatan terhadap sang
Dewa laut, Lemanja yang terkenal dalam legenda Negara Brazil.
Sejarah pun mencatat, bahwa pada bulan januari erat sekali kaitannya
dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih. Sehingga agama Kristen
pun sering disebut sebagai agama masehi. Dan masa sebelum Yesus lahir
disebut tahun sebelum masehi (SM), sedangkan masa setelah kelahirannya
disebut tahun masehi.
Sekarang kita telah mengetahui, kenapa perayaan tahun baru masehi itu
diharamkan sekali oleh Islam. Dan tidak ada alasan lagi bagi kita untuk
menolak kemeriahan segala rangkaian acara yang disuguhkannya. Karena,
jika kita tetap bersikukuh untuk melarutkan diri dalam perayaan
tersebut, maka itu artinya kita telah mendukung syiar-syiar kesesatan
mereka. Dan lebih mengkhawatirkannya lagi, hal tersebut sangatlah
berpotensi dapat mengikis habis kadar keimanan kita kepada Allah swt..
Tentang masalah ini Rasulullah saw. pun dengan tegas telah
menyinggungnya, supaya umat Islam hanya merayakan Hari Besarnya terpisah
dengan agama lain.
Hati-hati!
Hati-hati!
Oleh karena itu, waspadalah terhadap setiap hal. Menyikapi apa yang
terjadi di depan mata kita selayaknya ditanggapi secara kritis dan
mendasar. Kita lihat bagaimana konteks agama memandang, apakah itu
termasuk dalam tataran yang dibolehkan? Ataukah, justru malah
diharamkan? Cermatilah!
*) Penulis merupakan anggota Asosiasi Penulis Islam (API) STAIL
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..