Komersialisasi Tubuh Wanita: Tanggung Jawab Media

Oleh: Khairul Huda*

Dewasa ini kontrol terhadap urusan moral semakin susah saja. Sekuat dan sejauh apapun kita memagari diri dan anak-anak kita, tetap saja terasa percuma. Apa pasal? Media. Secara jujur saya akan mengatakan bahwa media bertanggung jawab atas runtuhnya kontrol moral. Sebab dunia zaman sekarang ini sudah penuh sesak dengan program-program media. Televisi maupun cetak sama saja. Tak ada beda. Iklan-iklan bertebaran, antri untuk mendoktrin. Dan isi dari iklan itu sebagian besar—atau saya katakan saja hampir seluruhnya—memajang wanita-wanita cantik, mulus dan seksi. Coba Tanya pada diri anda, berapa persen dari alam sadar otak anda yang disetir oleh iklan-iklan  media. Saya tak hendak mengajak untuk merenung. Semua sudah begitu nyata. Jelas. Terang benderang. Namun apa hanya media? Saya menambah satu kata lagi. Wanita (Baca: Model iklan). Itu dia akar masalah kedua rusaknya kontrol moral selain media yang terus menerus menayangkan dan mencetak lekak-lekuk tubuh mereka.


Menjual Tubuh Wanita Pada Pasar
Cantik, mulus, dan seksi, seolah tiga kriteria wajib untuk kesuksesan sebuah iklan. Anda pasti tak gampang lupa dengan iklan-iklan seperti itu. Dan saya berani bertaruh anda akan beranjak memindahkan chanel jika iklan yang anda saksikan tidak memajang tiga kriteria tadi. Iklan kini telah bergeser begitu jauh dari fungsi utamanya. Atau fungsinya memang tak pernah berubah, hanya bertambah, namun kemasannyalah yang banyak berubah. Karena terus berubah, kemasan juga bergeser modelnya sesuai zaman keberadaannya. Zaman yang edan akan edan pula kemasan iklannya. Bukankah zaman akan semakin edan jika tiap hari yang disuguhkan di mata kita juga sesuatu yang edan. Dan bayangkanlah zaman yang semakin edan itu akan melahirkan produk-produk yang semakin edan pula. Lima atau sepuluh tahun lagi siapa yang bisa membayangkan isi kemasan iklan-iklan yang akan muncul.
Dalam artikelnya, Nurani Soyomukti menulis, Tubuh mereka tak lebih dari barang dagangan (commodity), dijual untuk mendapatkan uang/upah. Kalau dipikir secara hakiki, sama saja, khan dengan pelacur (Jawa Pos, Minggu 6 Oktober 2011). Anda pasti mengerti nama Nurani Soyomukti adalah nama seorang wanita. Betapa dia prihatin terhadap kaumnya sendiri. Saya tidak akan bertanya mengapa para wanita mau melakukan hal yang menurutnya adalah perbuatan melacur. Mungkin benar karena uang/upah, popularitas atau keinginan untuk eksis, mengeksplorasi keberadaannya yang hanya sekali di bumi ini. Entahlah, setiap individu model punya obsesi-obsesi tersendiri. 

Kontrol Diri
            Indonesia yang berpegang pada budaya ketimuran tentu punya sense of morale yang tinggi. Jangankan memakai rok selutut, orang tua kita (wanita) yang hidup beberapa puluh tahun lebih dahulu daripada kita akan malu dan terbakar merah mukanya jika sehelai saja rambut yang tumbuh dari kepalanya menjuntai dan nampak oleh orang lain. Bahkan sehelai rambut mereka jaga seperti menjaga seluruh bagian tubuh. Itulah yang disebut kontrol diri, kesadaran diri akan tanggung jawab terhadap orang lain dan lingkungan. Berfikir tentang sebab dan akibat. Merasa malu terhadap Tuhan yang memanifestasikan tubuh yang sempurna dan lengkap. Mengerti bahwa tubuh juga termasuk ujian. Bukankah akan lebih berharga jika kesemuanya, dari ujung rambut hingga telapak kaki dijaga. Seperti menjaga permata satu-satunya. Karena memang setiap individu diciptakan berbeda. Mengontrol diri berarti juga kita peduli atas generasi selanjutnya. Jangan sampai kita hidup enak sementara anak cucu kita hari-harinya kelak hanya berisi tentang pikiran porno dan hal-hal tak penting lainnya.
SensorKetat
            Sangat menyedihkan memang jika “sensor” yang menjadi filter akhir sebuah produksi diserang kalangan budayawan kritis kiri. Mereka begitu mengkhawatirkan kata sensor. Seolah-olah sensor itu adalah hakim yang tak akan pernah berpihak pada mereka. Bacalah makalah Ignatius Haryanto “Sensor Atas Karya Seni dan Kebebasan berekspresi Lain di Indonesia Saat Ini”, yang disampaikannya dalam diskusi “Ancaman Sensor Dewasa Ini” di komunitas salihara, Jakarta. Mereka mengaku Budayawan, namun tak tahu, atau bahkan pura-pura tak tahu (atau juga karena sudah terjangkit cara berfikir budayawan barat) makna dari berbudaya. Sehingga bagi mereka berekspresi adalah segala-galanya, tanpa batas dan hak yang harus dijunjung tinggi. Mereka melupakan akar kehidupan mereka, di mana mereka memijakkan kaki dan apa pengaruh cara berfikir mereka terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar mereka.
            Mereka memang membahas (kalau boleh disebut menyerang habis-habisan segala tindak kegiatan) FPI. Saya tidak dalam kapasitas untuk mengatakan saya setuju atau menolak dengan/terhadap tindakan-tindakan FPI. Namun sekiranya patut kita pertimbangkan adanya control ketat dari penguasa negeri ini. Sebuah lembaga yang kebal terhadap boncengan-boncengan nakal, ideologi-ideologi kiri maupun liberal yang menafikan asas kontrol.
            Lembaga inilah sekiranya yang mengontrol segala muatan yang akan ditayangkan ataupun dicetak pada media. Dengan demikian pemerintah juga punya andil dalam mengontrol materi-materi yang akan dikonsumsi oleh penduduknya. Apakah itu perlu? Apakah itu baik? Apakah itu pantas? Semua dipertimbangkan sebelum meluncur bebas menerobos batasan usia, jenis kelamin dan kondisi mental. Mental yang lemah sangat mudah akan jatuh tunduk pada materi-materi “jual diri” rendahan seperti itu.

*) Mahasiswa STAI Lukman Al-Hakim
Teruskan :

+ Komentar + 1 Komentar

22 November 2011 pukul 03.44

orang tua jaman sekarang lebih bangga kalo anaknya bisa nyanyi daripada bisa ngaji.,,,

Posting Komentar

Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Asosiasi Penulis Islam (API) Surabaya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger