Oleh: D. Rasyid Albarr*
“Waduh, terjadi
pengghashaban, nih.” Spontan teman saya berkata ketika keluar dari Asrama,
dan melihat sandalnya tidak berada di tempatnya. Rupanya sang sandal dighashab
(dipakai tanpa izin) oleh orang lain. Kesal, ia lantas berkata,”Ghashab
jugalah aku.” Ia pun memakai sandal yang, “dianggap,” nganggur.
Di perjalanan
menuju masjid ia meceritakan kejadian itu kepada saya. Maka saya bilang, “Seharusnya
Antum bersabar. Bukannya membalas. Apalagi yang jadi sasaran pembalasan antum
orang lain. Kalau Antum membalas pelakunya, sih... tidak
masalah.”
“Ya... habis
gimana dong... kita kan tidak tahu pelakunya,” timpalnya.
“Justru di situ
kesabaran antum diuji. Seandainya semua orang bersikap kayak antum,
tidak bakal selesai masalah ghashab-mengghashab.”
“Tapi, ya...
daripada nanti kaki kotor, terus masuk masjid mau shalat. Kita nggak tahu
kalo-kalo menginjak najis.”
“Mending masuk
masjid dengan kaki kotor ketimbang masuk masjid dengan membawa dosa.”
“Iya juga, ya.”
Fenomena Ghashab
(memakai barang orang lain tanpa meminjam) telah menjadi fenomena yang dianggap
biasa di pondok pesantren. Bahkan mejadi kebudayaan yang tak pernah hilang.
Satu orang berbuat, karena semua bermental sama, yang lain ikut berbuat. Maka
terjadilah ghashab-mengghashab/pengghashaban berantai (serem amat). Yang
sangat disayangkan, budaya ini justru bersemi di pondok-pondok pesantren, yang
mana, tentunya, masyarakatnya lebih paham akan perkara Agama.
Nah, sobat
API, tentunya kita sebagai muslim malu—bagi yang masih punya rasa malu—akan
kenyataan ini. Apa lagi bagi yang sekarang sedang nyantri di pondok pesantren.
Dan, tentunya, kita tidak bisa lari dari masalah ini. Lari dari masalah tidak
akan menyelesaikan masalah. Justru menambah masalah, betul? So, bagi
sobat-sobat API sekalian yang masih punya kepedulian—khususnya sobat-sobat
santri—akan citra umat muslim, pesantren dan terlebih citra Agama Islam yang
mulia ini, mari kita bersama-sama, menyatukan kekuatan, dengan segala upaya menghapuskan
budaya ghashab. Caranya mudah, kok. Pertama, kita mulai dari diri
sendiri. Jangan pernah melakukannya. Kalau memang kita tidak punya
sandal—misalnya—ya jangan merasa punya sandal. Terus, gimana dong kalau
kita yang jadi korban? Ya sabar. Ingat?! Orang yang sabar dicintai Allah.
Ketika kita menjadi korban, jangan terpancing untuk membalasnya. Mending jalan
kemana-mana nyeker, kepanasan, dan kotor ketimbang kemana-mana dengan
kaki dijamin mendapat siksa neraka yang lebih panas dan lebih kotor.
Kedua, kalau ada
teman kita yang berbuat ghashab, maka tugas kitalah untuk
mengingatkannya. Jangan acuh tak acuh. Tidak ada ruginya memberi nasihat kepada
sesama, justru berpahala.
Ketiga, ini bagi
sobat-sobat API yang termasuk golongan be have. Cobalah sekali-sekali
(kalau perlu banyak kali) kita tunjukkan rasa kebersamaan. Misal, kalau ada
teman yang tidak mampu membeli sandal, kita bisa menyisihkan rizki yang kita
miliki sedikit untuk membelikannya sandal. Walau hanya sekadar merek swallow.
Kita tidak akan rugi mengeluarkan uang untuk hal demikian. Selain dapat
ganjaran, juga masalah ghashab bisa teratasi. Dan tentunya kita akan
dihargai oleh teman-teman kita (tapi tenang, harga diri kita tidak bakal di
lelang kok. Hehe). Dan tentunya kita berbuat demikian bukan karena ingin
pujian.
Nah, sobat API, pastinya kita ingin citra muslim yang mulia. Jadi,
jangan menganggap remeh hal-hali kecil. So, mulai dari diri sendiri,
mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang.
*) Penulis
adalah anggota API (Asosiasi Penulis Islam) dan tinggal di lembar-hikmah.blogspot.com
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..