Oleh: Ahmad Tahfif
Leo F. Buscaglia, begitu namanya.
Seorang professor pendidikan di University of Southren California, di Amerika.
Ia seorang dengan seabreg kegiatan sosial dan ceramah-ceramah tentang
pendidikan. Satu tema yang terus menerus dibawanya dalam banyak ceramah, adalah
tentang cinta."Manusia tidak jatuh 'ke dalam' cinta, dan tidak juga keluar
'dari cinta'.
Tapi manusia tumbuh dan besar dalam, cinta," begitu
katanya dalam sebuah ceramah.
Cinta, di banyak waktu dan peristiwa
orang selalu berbeda mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang
benar sempurna penafsirannya. Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara
yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang
lebih rendah.
Tapi
ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan
membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih sempurna.
Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang dihasilkannya. Cinta membuat
dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak bisa kita nikmati
dengan cinta. Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku
jujur dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan.
Bandung-Bondowoso tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari tidurnya
dan menegakkan seribu candi untuk Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya,
diukirnya tanah menjadi sebuah telaga dengan perahu yang megah dalam semalam
demi Dayang Sumbi terkasih yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di
India, di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih, buah hati
sang raja juga terbangun karena cinta. Bisa jadi, semua kisah besar dunia,
berawal dari cinta. Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera
kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih
sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan
kehidupan yang lebih baik.
Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi
memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia mulia,
Rasulullah tercinta. Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan
Allah lewat kehidupan Rasul-Nya.
Pagi itu, meski langit telah mulai
menguning, burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah
dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada
dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah
kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa
mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang
mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku." Khutbah singkat itu
diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu
persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik
turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah
tiba. "Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua
sahabat kala itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di
dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dengan sigap menangkap Rasulullah
yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di
sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi,
tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang
terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma
yang menjadi alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang
berseru mengucapkan salam.
"Assalamu’alaikum,,,,,Bolehkah
saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk,
"Maafkanlah, ayahku sedang
demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya
yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu
wahai anakku?"
"Tak tahulah aku ayah,
sepertinya baru sekali ini aku
melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu
dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di
kenang.
"Ketahuilah, dialah yang
menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia.
Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan
tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa
Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah
bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia
ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku
nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah
terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua
surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar
kabar ini?" Tanya Jibril lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana
nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul
Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi
siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya
Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik dipisah dari raganya.
Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang.
"Jibril, betapa sakit sakaratul
maut ini." Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di
sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga
kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar
wahyu itu.
"Siapakah yang tega, melihat
kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.
Sebentar kemudian terdengar
Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah,
sungguh dahsyat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan
pada umatku."
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki
dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak
membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya.
"Uushiikum bis shalati, wa maa
malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di
antaramu."
Di luar pintu tangis mulai terdengar
bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya,
dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatii,
ummatiii." Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu.
Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?
Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..