Oleh: Ahmad
Tahfif*
Sahabat-sahabatku yang
dimuliakan Allah. Sebagai manusia, wajarlah jika sesekali kita
mengeluh dengan keadaan yang tidak sesuai keinginan. Tetapi, tidak pantas rasanya jika setiap kali kita menemukan hal yang
melenceng saja dari apa yang kita inginkan dihadapi dengan mengeluh.
Mengeluh sepertinya sudah menjadi “tren”. Contohnya saja dengan adanya
jejaring sosial yang memungkinkan untuk kita bisa men-share apapun yang kita alami. Ini secara tidak
langsung dapat menjadi hal pelancar mengeluh. Pentingkah menceritakan semua
yang menimpa kita kepada semua orang? Apakah dengan menceritakan semuanya dapat
menghilangkan masalah itu? Tentu tidak.
Memang, mengeluh sah-sah saja untuk mencari solusi masalah kita. Yang
terjadi ketika kita mengeluh, apakah kita berpikir untuk menemukan solusi?
Kebanyakan kita tidak berpikir jauh seperti itu. Secara tersirat, tujuannya
hanya ingin orang mendengarkan keluh kesah kita
Sebenarnya,
dengan atau tanpa mengeluh hidup tetaplah hidup. Yang harus dijalani walaupun
lelah, yang harus dihadapi walaupun berat, yang harus dimengerti walaupun
rumit. Memperlihatkan kelemahan kita justru akan menjadi negatif.
Sebegitu susahkah untuk bersyukur? Mari kita
tengok sekelumit cerita di bawah ini.
Bai Fang Li adalah seorang tukang becak. Seluruh hidupnya
dihabiskankan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi
jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan
kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.
Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran
becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar
biasa untuk bekerja. Mulai jam enam pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk
bersekutu dengan Tuhan. Dia melalang di jalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggannya. Dan ia akan
mengakhiri kerja kerasnya setelah jam delapan malam.
Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah
dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena
kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih.
Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil, malah tergolong ringkih, itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai
menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.
Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau rubuh, di
daerah yang tergolong kumuh di pinggiran kota Tianjin, RRC, bersama dengan banyak tukang becak, para penjual asongan dan pemulung
lainnya. Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian.
Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang
telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh
penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.
Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana ia biasa merebahkan
tubuhnya beristirahat, diruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya,
diruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua
miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah
piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia
makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah
lampu teplok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi
kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah menjelang.
Bai Fang Li tinggal sendirian digubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia
seorang pendatang. Tak ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara. Tapi
nampaknya ia tak pernah merasa sendirian, banyak orang yang suka padanya,
karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu
dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau balasan.
Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya,
sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk
dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya
yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena
telah robek. Namun dia tidak melakukannya, karena semua uang hasil
penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak
yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu
melalui sekolah yang ada.
Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah
mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus
berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat
barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan
mengendong beban berat dipundaknya, namun terus dengan semangat melakukan
tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar dimukanya, ia
menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan
wajah menengadah ke langit bocah itu bergumam, mungkin ia mengucapkan syukur
pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.
Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang
berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak
ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti
kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu ke mulutnya,
menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.
Hati Bai Fang Li tercekat melihat itu, ia hampiri anak lelaki itu, dan
berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli
makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak
akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.
“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik
saya,” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu. Ayah ibu saya pemulung. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi
memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari
makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil,” sahut anak itu.
Bai Fang Li meminta anak itu untuk mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati
Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Ming, dua anak perempuan
kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu tampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.
Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu
perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu,
karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah. Jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus
diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.
Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada
pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan
mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar
mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan
pendidikan yang layak.
Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh
becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam delapan malam dengan penuh semangat untuk
mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa
gubuknya dan pembeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong
kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan
ke yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat
kecilnya yang kekurangan.
Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan
dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia
beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di
tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang terkoyak dengan
kain yang berbeda warna. “Mhmmm… tapi masih cukup bagus,” gumannya senang.
Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa peduli
dengan cuaca yang silih berganti, ditengah badai salju turun yang membekukan
tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh
kurusnya.
“Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin
itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan
semua ini,” katanya bila orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban
demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20
tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah
donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia
mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah)
yang disimpannya dengan rapih dalam sebuah kotak dan menyerahkannnya ke Sekolah Yao Hua.
Bai Fang Li berkata, “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya
tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya
sumbangkan……” katanya dengan sendu. Semua guru di sekolah itu menangis.
Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan.
Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB
350.000 ( setara 470 juta rupiah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim
piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak
miskin.
Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya
yang bertuliskan ” Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.
*) Penulis
adalah anggota API (Asosiasi Penulis Islam)
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..