Oleh: Robinsah*
Faham materialisme sepertinya telah menjadi ’kangker
ganas’ yang tengah mengerogoti pola hidup masyarakat moderen saat ini. Segala
sesuatu diukur dengan materi. Kekuatan, kemuliaan, kesenangan, kesuksesan, dan
sebagainya, semua diukur dengan materi.
Hasil dari pola pikir macam ini, menyebabkan
orang-orang memiliki hasrat tinggi untuk memiliki, menguasai, mengeruk
keuntungan pribadi/kelompok, sebesar-besarnya, tanpa harus memikirkan,
mempedulikan nasib orang lain. Kasus merebaknya praktek KKN di negeri ini adalah
salah satu buah yang dihasilkan dari faham materialisme ini.
Karena ulah faham ini pula, seseorang akan enggan
membantu atau pun berkorban untuk orang lain. Kalau pun mereka bisa, maka
setidak-tidaknya harus ada imbalan balik yang harus mereka terima sebagai
konsekwensi dari pemberian yang mereka salurkan.
Maka tidak mengherankan kalau kita dapati beberapa
tahun silam, pasca pemilihan umum, terdapat calon anggota dewan yang mengambil
kembali sumbangannya di masyarakat, karena di waktu pemelihan tersebut,
masyarakat sekitar tidak memilih dia sebagai calon wakil rakyat
(www.siwalimanews.com/ 14 April 2009). Sungguh memprihatinkan dan
memalukan.
Jadi, setidaknya faham materialisme
telah melahirkan tabi’at buruk bagi manusia, yaitu sifat egois, indifidualis
serta anti-pati terhadap urusan orang lain. Padahal sejatinya justru tiga hal
ini lah yang akan menjerumuskan seseorang ke jurang kehinaan
sedalam-dalamnya.
Kasus Fir’aun yang membunuhi
bayi-bayi laki-laki dari Bani Isro’il karena khawatir posisinya sebagai raja
akan digantikan oleh salah seorang pemuda dari mereka adalah bukti otentik
sejarah, betapa rumus kemuliaan dengan sistem demikian ini tidak lah benar. Dan
akhirnya dia (Fir’aun) pun akhirnya mati dengan kehinaan, ditenggelamkan di
tengah-tengah laut, serta (secara tidak langsung) telah menobatkan dirinya
sendiri sebagai simbol kebengisan, kekejaman, serta kecongkaan di muka bumi
ini.
Sebaliknya, dengan menyuburkan rasa
simpati dan empati terhadap sesama, akan menggoreskan nama kita sebagai pribadi
yang mulia di mata manusia lebih-lebih di mata Allah, Tuhan alam semesta.
”Tangan di atas lebih baik (mulia) dari
pada tangan di bawah” adalah rumus kehidupan yang diberikan Nabi untuk umatnya
agar mereka mampu merengguh kemuliaan. Semakin sering kita mengulurkan tangan
untuk meringankan orang lain, berarti kita semakin ’memoles diri’ untuk menjadi
pribadi yang mulia, yang disenangi serta dikenang oleh masyarakat luas.
Makna lain dari rumus di atas, untuk
meraih kemuliaan kita harus rela berkorban. Lebih mementingkan kepentingan umum
dari urusan pribadi (terkecuali dalam urusan ibadah). Karakter macam ini pula
yang telah menjadikan para sahabat Rosulullah hidup mulia dan bermartabat di
masanya. Mereka saling berlomba-lomba untuk memberi, berkorban untuk orang
lain. Tidak hanya harta yang menjadi taruhannya, bahkan jiwa pun mereka rela
pasang demi membantu saudara-saudara mereka yang tengah membutuhkan.
Abu Bakr rela menyerahkan seluruh
hartanya demi kejayaan Islam. Begitu pula dengan Umar bin Khathab, Utsman bin
Affan, Abdurrahman bin ’Auf, dan sebagainya. Mereka berlomba-lomba untuk
mengorbankan apa yang mereka miliki demi kepentingan umum, laksana mereka
tengah berebut barang rampasan ghonimah sebagaiman yang terjadi pada
perang Uhud.
Dalam
kondisi demikian, maka tidak salah dalam suatu kesempatan Rosulullah pernah
menjelaskan dalam sabdanya, bahwa sebaik-baik masa adalah masa di mana beliau
masih hidup, kemudian masa berikutnya, dan kemudian masa berikutnya.
Dalam Alquran surah al-Fathir ayat
10, Allah SWT juga menegaskan tentang hakekat kemuliaan; "Barang siapa
yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya lah
naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan
orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras dan rencana
jahat mereka akan hancur."
Terkait ayat di atas Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, menerangkan bahwa
hakekat kemuliaan itu adalah seseorang bertindak dan berbuat
sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, serta kesungguhan dalam berbuat
kebaikan, kejujuran dan amanah, dan keberpihakan pada kemaslahatan bersama.
(www.republika.co.id/Kamis, 27 Oktober 2011).
Memelihara Sepirit ’Idul Adha !
Saat
ini kita masih berada pada bulan Dzulhijjah, bulan yang mulia. Banyak peristiwa
yang terjadi pada bulan ini yang bisa kita jadikan teladan untuk menjadi
pribadi yang lebih baik kedepannya. Salah satunya adalah ghirah mengorbankan
kepentingan pribadi dan mendahulukan kepentingan umum. Pada bulan ini, Nabi
Ibrohim telah mampu mengalahkan sifat egoismenya sebagai seorang bapak, demi
mentaati perintah Allah. Beliau kalahkan cintanya ke pada anak semata
wayangnya, demi lebih mentaati perintah Allah, yaitu menyembelih putranya,
Ismail, yang kemudian Allah ganti dengan seekor lembu. Karena ketaatan beliau
inilah, Allah kemudian memuliakan Nabi Ibrohim beserta keturunan-keturunannya.
Beliau tidak hanya digelari sebagai nabi ’Ulul Azami’, namun beliau juga
mendapat ’lebel’ sebagai bapaknya para nabi ’Abu Al-Anbiyak’
Kita
patut bersyukur, sebagian kaum muslimin saat ini masih mewarisi semangat
berkorban Nabi Ibrohim. Puluhan ribu jamaah haji Indonesia telah pergi ke tanah
suci demi memenuhi panggilan Allah. Mereka sampingkan urusan keluarga, bisnis,
dan sebagainya, demi menjawab seruan-Nya. Resiko terburuk, yaitu kematian,
karena berada di tengah lautan manusia yang sedang melaksanakan ibadah haji,
pun mereka tepis demi menbjawab seruan Allah. Subhanallah!
Dan
bagi mereka yang belum memiliki kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji, namun
memiliki kemampuan untuk berkurban, mereka pun tidak kalah saing. Mereka
sisihkan sebagian rizki mereka demi mentaati titah Allah untuk menyembelih
binatang kurban. Entah berapa ribu ekor kambing/domba dan sapi yang disembelih
pada bulan Dzulhijjah tahun ini.
Intinya,
poin yang bisa kita ambil, volume minat berkorban kaum muslimin terhadap apa
yang mereka miliki, mengalami peningkatan pada bulan Dzulhijjah ini.
Seharusnya, semangat macam ini senantiasa kita rawat dan menjadi salah satu
karakter kepribadian kita sebagai pribadi mukmin, bukan hanya bersifat
eksidentil. Dengan demikian, kita berharap, kemuliaan ummat ini bisa terjaga
karena budaya memberi, menolong, berkorban sebanyak-banyak untuk orang lain
benar-benar telah mengakar dalam setiap diri kita, sebagaimana yang telah
terjadi di masa Rosulullah dahulu.
Dari Abu Hurairah
rodhiallohu ‘anhu, Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa
melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Alloh akan
melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan
(mukmin) yang sulit niscaya Alloh akan memudahkan urusannya di dunia dan
akhirat................ (HR Muslim).
*) Penulis adalah anggota API (Asosiasi Penulis Islam)
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..