Oleh Luqman Hakim*
Takbir, tahmid, dan tahlil menggema di segala penjuru. Pada Ahad 6
November 2011 kemarin, umat muslim di berbagai dunia bersuka cita merayakan
salah satu hari raya mereka, yaitu idul adha.
Berbicara hari raya ‘iedul adha, kita diingatkan pada tiga sosok
penting dalam sejarah manusia. Mereka adalah nabi Ibrahim, siti hajar, dan nabi
Ismail. Tidak berlebihan kiranya kalau kita hendaknya mengharuskan diri
berupaya meneladani mereka. Bagaimana
bentuk nyata dalam proses meneladani tiga tokoh dunia ini?
Bukan Bapak Rasionalis
Sebelum membahas lebih dalam tentang bagaimana meneladani tiga
“tokoh idul adha” tersebut, sebaiknya kita
mengenal terlebih dahulu salah satu tokohnya, nabi Ibrahim. Ia pantas
dijadikan sebagai teladan oleh kaum muslim, karena ia adalah bapak tauhid. Ia
bukan bapak rasionalis sebagaimana dituduhkan sebagian cendekiawan.
Sebagian cendekiawan beranggapan bahwa dalam perjalanan mencari
Tuhan, nabi Ibrahim mengembangkan metode rasional ilmiah. Maka mereka pun
menyamakan sosok nabi Ibrahim dengan Rene Descartes, filosof Yunani yang diberi
gelar bapak filsafat dan bapak rasionalis modern oleh para pengagumnya.
Ada perbedaan yang sangat jauh ketika membandingkan antara nabi
Ibrahim dengan Dercartes. Memang keduanya berusaha mengenali Tuhan dengan
pendekatan rasional. Namun dalam perjalannya, terdapat jarak yang jauh antara
nabi Ibrahim dengan Descartes.
Descartes, sosok yang diagung-agungkan oleh “pemuja”-nya ternyata
mengakhiri hidupnya dengan dengan bunuh diri. Dan, sebelum meninggal ia
meninggalkan pesan dalam bentuk tulisan yang sempat mengegerkan para
pengikutnya. Kalimat tersebut berbunyi: “Yang saya ketahui secara pasti
bahwa sesungguhnya saya tidak tahu”.
Hal itu menunjukkan, Descartes telah bertekuk lutut. Nalarnya sudah
tak berfungsi, logikanya tak jalan lagi, karena yang ia pikirkan kali ini
adalah Dzat Yang maha Tinggi.
Ia telah menyelami dunia terlalu jauh. Semakin dalam ia menyelam,
semakin banyak misteri yang nampak. Semakin banyak pertanyaan yang akhirnya
menimbulkan berbagai persoalan. Satu penemuan telah dihasilkan, ternyata timbul
seribu permasalahan baru yang menuntut penelitian dari jawaban. Begitu
seterusnya hingga akhirnya ia putus asa. Bunuh diri adalah jalan terbaik
baginya.
Berbeda dengan Descartes, nabi Ibrahim sang teladan ummat dibimbing oleh wahyu.
Memang, awalnya ia pernah mengembara dalam dunia pemikiran. Ia tak berhenti
merenung dan berpikir untuk mencari Tuhan. Namun yang perlu digarisbawahi
adalah, hal itu dilakukan nabi Ibrahim ketika belum diangkat menjadi Rasul oleh
Allah SWT.
Dalam proses pencariannya mencari Tuhan, nabi Ibrahim selalu berada
dalam kebingungan. Ketika dipandangnya sebuah bintang di tengah malam, ia
berkata, “Inilah Tuhanku”. Lantas ketika tenggelam ia berkata, “Aku tidak suka
pada yang tenggelam”.
Ia pun melanjutkan dengan mengamati sepotong rembulan. Ia
menyimpulkan hal yang sama, akan tetapi ternyata rembulan itu lenyap juga. Ia gagal lagi.
Demikian pula saat melihat matahari. Itu lebih besar, pikirnya. Ia pasti
Tuhannya. Namun lagi-lagi ternyata matahari itu tenggelam. Kembali ia marah-marah
dan frustasi. Namun ketika seluruh instrument berpikirnya tak lagi jalan, ia
bersandar sambil berdoa entah kepada siapa.
Nabi Ibrahim kemudian sadar, bahwa alam realitas dan alam ghaib
adalah komponen produk suci Tuhan. Memisah dan memilah kedua komponen tersebut
hanya menghasilkan pemahaman yang pincang. Inilah salah satu contoh
kerasionalitasan nabi Ibrahim sehingga ia digelari Bapak rasionalis.
Padahal, pada saat nabi Ibrahim dalam kebuntuan berpikir, ia
kemudian diberi wahyu oleh Allah. Ia tidak lagi mengandalkan akal semata. Ia
pun diangkat sebagai Rasul. Sungguh, hal ini tidaklah menjadi alasan bahwa nabi
Ibrahim dianggap sebagai Bapak rasionalis. Apalagi, kalau kita kupas sejarah
qurban yang sama sekali tidak logis dan rasional yang digambarkan oleh Allah
secara jelas dalam surat As-shaffat ayat 102-107.
Tidak Rasional
Nabi Ibrahim merupakan sosok manusia yang menyerahkan dengan penuh
tawakkal kepada Allah. Sehingga, perintah apapun dari Allah tetap ia lakukan
walau harus bertentangan dengan pikiran dan perasaannya. Ia tetap bersikap sami’na
wa aho’na (kami mendengar dan kami taat) walau perintah Allah tidak
rasional.
Ketika istri nabi
Ibrahim, siti Hajar melahirkan nabi Ismail, Allah memerintahkan nabi Ibrahim
agar “membuang” mereka berdua ke sebuah lembah yang gersang. Padahal, nabi
Ibrahim dan siti Hajar sudah berpuluh-puluh tahun menanti kelahiran putra
mereka.
Tatkala nabi
Ibrahim meninggalkan mereka di lembah gersang tersebut, siti hajar bertanya,
“kepada siapa engkau titipkan kami di lembah yang tiada mungkin ada kehidupan.
Ibrahim tidak menjawab. Lantas siti Hajar bertanya kembali,”Kepada siapa engkau
titipkan kami di sini?” Nabi Ibrahim menjawab, “Kepada Allah”. Siti Hajar pun
mengikutinya dengan penuh keimanan. Ia pun berkata, “Kalau begitu aku rela
karena Allah”.
Peristiwa lainnya
yang menjadi bukti bahwa nabi Ibrahim lebih mendahulukan perintah Allah
daripada mengikuti akalnya adalah peristiwa pengorbanan putra kesayangannya,
nabi Ismail. Ia tetap melaksanakan perintah Allah mengorbankan anaknya demi
Dzat pemilik kebenaran yang mutlak. Padahal, waktu itu nabi Ismail tumbuh
dengan subur dan membuat senang ayah bundanya.
Teladan Utama
Nabi Ibrahim, nabi Ibrahim, dan siti Hajar adalah tiga tokoh yang
mewakili strata umur dan jenis kelamin untuk kita aktualisasikan dan kita
teladani.
Bila kita seorang
ayah, seorang pemimpin, ataupun pengajar; maka kita bisa meneladani nabi
Ibrahim. Dengan meneladani nabi Ibrahim atas pengorbanannya, akan keluar dari
lisan kita, “Jangankan harta dan raga, jiwa pun siap saya korbankan”.
Seorang pengajar, misalnya, ia akan rela berpeluh keringat dan
berusaha bersabar atas kenakalan yang dilakukan oleh murid-muridnya. Murid-murid
yang belajar kepadanya ia anggap sebagai anak sendiri. Ia tidak akan mengeluh,
apalagi mogok mentransfer ilmu yang ia miliki. Ia akan terus
semangat walau balasan berupa materi dunia yang ia peroleh tidak akan
menjadikannya orang kaya. Ia korbankan tenaga, waktu, serta jiwanya untuk
mengabdi dalam dunia pendidikan.
Selain itu, sosok
nabi Ibrahim mengajarkan kepada kita agar tunduk kepada wahyu. Kita
diperbolehkan berpikir rasional, tapi jangan sampai “mengotak-atik” wahyu
sebagaimana dilakukan kaum sepilis (sekularisme,pluralisme, dan liberalisme).
Walaupun bertentangan dengan akal dan perasaannya, nabi Ibrahim tetap
melaksanakan perintah Allah.
Bila kita seorang
ibu, atau calon ibu, atau yang diposisikan sebagai ibu; kita dibawa untuk
menggali kekuatan seorang ibu, yaitu siti Hajar. Ibu yang dalam semua keadaan tidak
pernah kehilangan kepercayaan akan pertolongan Allah. Ia tetap menjadi seorang
ibu yang lembut penuh percaya diri untuk tetap mencintai dan setia terhadap
amanah suaminya.
Ia tidak mudah goyah oleh
keadaan sulit yang menimpanya. Tidak mudah luntur pendiriannya oleh bujukan dan
rayuan setan. Dari rahim yang demikian itu, akan lahir generasi sekelas nabi
Ismail.
Dan bila kita seorang anak muda, remaja, ataupun seorang murid;
maka kita diajak pada suasana batiniah
yang beridentifikasi kepada sosok pemuda nabi Ismail. Ia pemuda yang sabar dan
teguh hati. Ia tak kehilangan kepercayaan terhadap integritas dan dedikasio
orang tuanya. Ismail selalu siap membantu tugas pengabdian orang tuanya, dalam
rangka pelaksanaan kehendak Allah SWT.
Terutama dalam era sekarang ini, anak muda akan banyak mendapat
tawaran-tawaran yang sifatnya hedonis, kesenangan duniawi. Maka mereka –para
pemuda- yang sabar dan teguh hati, akan mampu mencapai cita-cita. Dan bagi
sebagai pemuda muslim, akan mampu komitmen pada nilai-nilai keimanan.
Akhirnya, siapapun kita; seorang
ayah, pemimpin, guru, ibu, anak, murid, atau dalam posisi lainnya, bisa
mencontoh tiga “tiga tokoh idul adha” yang telah dijelaskan di atas. Semoga
kita termasuk hamba-hamba Allah yang mampu meniru dan mengikuti serta mengambil
hikmah yang banyak dari keteladanan mereka. Amiin, yaa robbal ‘alamiin.
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..