Oleh:*Luqman Hakim
Akhir-akhir ini, istilah ‘hermeneutika’
ramai dibicarakan, terutama di kalangan akademisi di berbagai kampus Islam.
Apalagi, metode tafsir ini sekarang mulai menjadi mata kuliah wajib dalam
jurusan tafsir dan hadits di beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Padahal, ilmu penafsiran yang berasal dari tradisi di luar Islam ini dulunya
tidak dikenal para akademisi muslim. Lalu, bagaimana sikap kita terhadap konsep
asing ini?
Untuk Bible
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh
mitologis dalam mitologi Yunani bernama hermes (Mercurius). Hermes dikenal sebagai
dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia.
Dari tradisi Yunani, hermeneutika kemudian
berkembang menjadi metodologi penafsiran Bible, yang di kemudian hari
dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran
secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Bagi kaum Kristen, realitas teks Bible
memang membutuhkan hermeneutika untuk penafsiran Bible mereka. Para hermeneutis
dapat menelaah dengan makna teks Bible mencakup kondisi penulis Bible, kondisi historis,
dan makna literal suatu teks Bible.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah,
memungkinkannya metode penafsiran hermeneutika digunakan dalam menafsirkan
Bible serta menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah, dikarenakan
sifat teks Bible yang merupakan “teks manusiawi”. Sebagaimana disampaikan oleh
Paus Benediktus XVI, kata-kata dalam Bible, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi
juga kata-kata Isaiah, kata-kata Markus. Ia pun menyampaikan bahwa Tuhan
menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada kepada mereka untuk
mengungkapkan kata-kata-Nya kepada manusia (He used His human creatures, and inspired them to speak His
word to the world). (Lihat: Adian Husaini,
Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, Jakarta: Gema Insani, 2007, h.10).
Hal ini berbeda dengan Al-Quran yang
otentik dan final, sehingga Islam memang bukanlah bagian dari dinamika sejarah.
Islam sudah sempurna sejak awal (al-maidah:3). Oleh karena itu, metode historis
kritis dan analisis penulis teks (yang merupakan metode hermeneutika) tidak
dapat diterapkan untuk teks wahyu seperti Al-Quran, yang memang merupakan kitab
yang tanzil (diturunkan). Dan hingga kini, kaum muslim di dunia meyakini bahwa
lafadz Al-Quran dan maknanya datang dari Allah (lafdzan wa maknan minallah).
Meskipun sama-sama keluar dari lisan Rasulullah Saw, tetapi sejak awal sudah
dibedakan antara Al-Quran dengan hadits Nabi. Jadi, hermeneutika memang
seharusnya tidak diaplikasikan ke dalam Al-Quran; ia hanya cocok jika
diterapkan ke dalam Bible atau kitab-kitab lainnya.
Dampak terhadap Al-Quran
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa
hermeneutika cocok diterapkan dalam menafsirkan Bible dan tidak cocok untuk
Al-Quran. Ketika hermeneutika “dipaksa” menjadi metode penafsiran yang dipakai
dalam menafsirkan Al-Quran, hermeunetika akan memberikan masalah baru
tersendiri.
Dengan hermeneutika, maka hukum-hukum Islam
yang selama ini sudah disepakati kaum muslimin bisa berubah. Dengan
hermeneutika pula, bisa keluar produk hukum yang menyatakan wanita boleh
menikah dengan laki-laki non-Muslim, khamr menjadi halal, laki-laki punya masa
iddah seperti wanita, atau wanita punya hak talak sebagaimana laki-laki, atau
perkawinan homopseksual/lesbian menjadi halal. Semua perubahan itu bisa
dilakukan dengan mengatasnamakan “tafsir kontekstual” yang dianggap sejalan
dengan perkembangan zaman.
Menurut Adian Husaini, setidaknya ada 3
dampak (masalah) umum yang ditimbulkan oleh hermeneutika. Yaitu terdapat
relativisme tafsir, adanya sikap mencurigai dan mencerca ulama Islam, dan yang
terakhir adalah mendekontruksi konsep wahyu.
Terkait dampak hermeneutika yang menjadikan
tafsir bersifat relatif, contoh nyatanya ucapan Amina Wadud yang menyatakan
bahwa tidak ada metode penafsiran Al-Quran yang sepenuhnya obyektif.
Masing-masing penafsir membuat pilihan-pilihan yang subyektif.
Adapun dampak kedua, yaitu adanya sikap
mencurigai dan mencerca ulama Islam. Terdapat seorang sarjana syariah dari IAIN
semarang bernama M. Kholidul Adib Ach yang “mencerca” Imam syafii. Dalam sebuah
artikel, ia menulis: Syafii memang terlihat sangat serius melakukan
pembelaan terhadap Al-Quran mushaf Utsmani, untuk mempertahankan hegemoni
Quraisy. Maka, dengan melihat realitas tersebut di atas, sikap moderat syafi’i
adalah moderat semu. Dan sebenarnya, sikap syafi’i yang demikian itu, tak lepas
dari bias ideologis Syafi’i terhadap suku Quraisy” (Lihat: Sumanto Al-Qurthubi
dkk., Dekonstruksi Islam Mahzab Ngaliyan, Semarang: raSAIL press, 2005,
h.84,86).
Selanjutnya terkait dampak yang ketiga,
yaitu dekonstruksi konsep wahyu, maka kita bisa melihat “sepak terjang” salah
satu pengaplikasi hermeneutika, yaitu Nasr Hamid Abu Zaid. Untuk
mengaplikasikan hermeneutika dalam Al-Quran, ilmuan kelahiran Mesir ini
menempatkan posisi Nabi Muhammad Saw sebagai “pengarang” Al-Quran. Selain itu,
ia juga berpandangan bahwa Al-Quran edisi dunia adalah produk budaya (cultural
product). Oleh karena itu, Abu Zaid telah melepaskan Al-Quran dari posisinya
sebagai kalam Allah yang suci, yang maknanya khas dan Nabi Muhammad Saw adalah
yang paling memahami makna ayat-ayat Al-Quran.
Waspadalah!
Kita bisa mengambil sikap agar mewaspadai
penggunaan metode penafsiran hermeneutika dalam menafsirkan Al-Quran. Karena,
sebagaimana dipaparkan di atas, ketika hermeneutika diterapkan dalam Al-Quran
akan menghasilkan permasalahan baru yang meliberalkan Islam. Dan, hendaknya
para akademisi benar-benar serius menangani masalah ini, karena hermeneutika
sudah menjadi mata pelajaran wajib di berbagai perguruan tinggi Islam. Wallaahua’lam.
*)Penulis adalah anggota Asosiasi Penulis Islam (API)
panceng, Gresik dan tinggal di luqman-online.blogspot.com
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..