Oleh *Robinsyah
Di tengah kehidupan seperti saat ini, di mana virus materialisme
liar menjalar menggerogoti, tidak sedikit orang yang merasa terbelenggu di
tengah kemerdekaannya.
Secara fisik, mereka normal, bebas, tidak kekurangan suatu apapun
untuk berbuat guna menggapai keinginan mereka. Namun karena faktor jiwa,
mental, ruh yang lemah, kerdil, mengakibatkan ia tak mampu berbuat apa-apa di
tengah keberdayaannya.
Fisik yang sempurna, tenaga yang mesih perkasa, peluang yang
hilir-mudik, sama sekali tidak mampu memancing hasratnya untuk menyambut
argresif dan segera bertindak, bahwa ia mampu untuk mendapatkan impiannya. Yang
ada, ia merasa tidak akan mampu karena keterbatasan yang ia miliki.
Misal, ketika diberi
tantangan, ia akan selalu menjawab pesimis, “Saya tidak bisa, karena saya
begini, begitu, tak ada waktu”. Inilah yang dimaksud dengan jiwa terbelenggu;
terbelenggu oleh kekurangan yang bersifat materi atau fisik.
Jiwa kerdil macam ini, mengakibatkan pemiliknya pasif dan tidak
produktif sama sekali. Yang bisa ia lakukan hanyalah menyalahkan keadaan. Dan,
keputusasaan akan menjadi ending dari perilaku buruk ini.
Di saat diri tengah dilanda penyakit macam ini, jangan pernah
bermimpi kesuksesan akan menghampiri, barang sekejap. Kita akan menjadi
pecundang abadi di muka bumi ini.
Nahasnya, yang menjadi faktor utama tenggelamnya kita ke dasar
jurang kegagalan, adalah diri kita sendiri, karena memiliki jiwa yang
terbelenggu, bukan jiwa yang merdeka, yang akan mampu mengomando fisik, di
tengah kekurangannya.
Sungguh, memiliki jiwa yang merdeka, itu akan jauh lebih baik dan
bermanfaat, meski fisik dalam kesukaran, dari fisik yang menghirup udara segar,
tapi jiwa berada pada ‘ruang beruji besi’. Karena sesungguhnya, komando kita
dalam menjalani kehidupan ini adalah jiwa.
Adapun fisik, hanyalah ‘prajurit’ yang akan melakukan segala titah
dari sang-komandan. Dan sudah pastilah, sang ‘prajurit’ pun tidak akan mungkin
bergerak tanpa mendapat komando dari komandan.
Inilah kiranya analogi yang tepat, dalam memposisikan jiwa dan
fisik/materi, dalam konteks pembahasan kita kali ini. Karenanya, menjadi sangat
penting bagi kita untuk memiliki jiwa merdeka, jiwa yang bebas dari belengku
kekurangan fisik atau materi.
Dengan memilikinya, kita tidak pernah ciut dengan kondisi yang
tengah kita alami, saat ini, yang –mungkin- tengah berada dalam ke-minus-an,
baik itu berupa fisik (kesempurnaan anggota tubuh), materi (modal), atau pun
peluang. Hal tersebut tidak pernah menjadi batu sandungan untuk meraih
kesuksesan. Tapi, justru menjadi batu loncatan, pemompa semangat, untuk terus
bergerak guna menggapai kesuksesan.
Jiwa-jiwa seperti inilah, yang telah dimiliki oleh para tokoh
dunia, termasuk di Indonesia, yang telah mampu menggoreskan sederet prestasi di
kehidupan mereka. Dan, sejarah pun telah mencatat, tidak sedikit dari mereka,
yang tampil menjadi orang ‘berada’ dari ‘ketidakberadaannya’, pada fase
sebelumnnya.
Di Indonesia, kita kenal Bob Sadino –BS- (pengusaha, pemilik
supermarket terkemuka di Indonesia) dan Chairul Tanjung –CT- (pengusaha
sukses/pemilik dua stasiun TV Swasta ternama di Indonesia). Keduanya kita
ketahui, merintis karir dari nol, dari golongan “tidak punya apa-apa”, dan kini
naik “kelas”, menjadi sosok yang “apa-apa saja punya”.
BS memulai karir suksesnya dari tukang jual telor keliling. Bahkan
sebelumnya, ia juga pernah menjadi kuli bangunan. Namun, lambat laun, setelah
terjun di dunia bisnis, ia pun sukses mengembangkan bisnisnya, bahkan hingga ke
manca negara.
Ada pun CT, memulai karir bisnisnya, dengan menjadi tukang foto
copy di kampus tempat ia belajar, UI. Dengan ketekunannya dan keberaniannya,
setelah melewati bereka ragam rintangan, jadilah ia sosok sukses di bidang
bisnis yang bergerak di bidang pertelevisian, perhotelan, perdagangan, jasa,
dll. Tidak jauh berbeda dengan BS, usaha CT pun memiliki daya saing dengan
negara-negara di dunia.
Lebih
Spektakuler
Dua tokoh di atas sebagai sampel, sosok-sosok yang mampu berdaya di
tengah ketidakberdayaan secara materi, modal. Ada yang lebih spektakuler lagi,
yaitu mereka yang mampu berprestasi di bawah intimidasi penguasa. Karena
bersilang pendapat dengan para penguasa, mereka pun harus mendapati realitas
dijebloskan di penjara.
Yang menakjubkan, meski berada dalam kondisi yang demikian, sama
sekali tidak menghentikan langkah mereka untuk mengukir sejarah dengan tinta
emas.
Masih dengan
tokoh Indonesia, Buya Hamka. Tokoh yang dikenal religius dan komitmen terhadap
ideologi yang diyakininya ini, harus mendekam di penjara karena berbeda
pendapat dengan penguasa saat itu. Namun, justru di ruang pengap itulah, ia
mampu mengarang satu kitab tebal, yang saat ini masih diperhitungkan
keberadaannya, yaitu ‘Tafsir Al-Azhar’. Spektakuler !.
Nasib yang lebih memprihatinkan lagi dirasakan Syaikh Ahmad Yasin,
pemimpin gerakan perlawanan pembebasan Palestina dari penjajah. Secara fisik,
beliau tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan
privasinya, juga harus mengandalkan bantuan orang lain, karena hampir seluruh
tubuhnya lumpuh.
Namun, sekali lagi, justru sosok “lemah” inilah yang menjadi bahan
pikiran para penjajah Zionis Israel, sehingga harus merancang rencana
sedemikian rupa, guna melenyapkan kakek tua renta lagi tidak berdaya ini dari
permukaan bumi. Hingga tibalah di suatu subuh hari, sebuah bom Zionis
diledakkan dan merenggut nyawanya.
Pertanyaannya, mengapa sosok yang tertulis di atas mampu meraih
prestasi di tengah kondisi tidak berpihak pada mereka? Jawabannya karena mereka
telah mampu melepaskan belenggu di jiwa mereka, akibat dari keterbatasan.
Hasilnya, kondisi segetir apa pun yang mereka alami, sama sekali
tidak menjadi penghalang untuk menggerakkan anggota tubuh mereka, serta
membakar semangat mereka, untuk terus berprestasi.
Jiwa inilah yang harus kita miliki, jika kita ingin menjadi pribadi
yang berprestasi. Kalau tidak, jangankan mereka yang lemah modal, fisik, dan
sebagainya, mereka yang berdaya pun, tidak akan kuasa meraih apa-apa, apa bila
jiwa mereka hidup dalam kebelengguan.
So, mari kita bebaskan jiwa kita dari belenggu-belenggu, yang akan
mematikan langkah kita untuk menuju tangga kesuksesan, demi terwujudnya mimpi
menjadi pribadi yang berprestasi.
*)Penulis
adalah Anggota API (Asosiasi Penulis Islam) Panceng, Gresik dan tinggal di catatan-kangrobin.blogspot.com
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..