Akhlaq Dalam Perspektif Islam


Oleh Waedyn Baedruel*

Banyak orang yang terjebak ketika memahami makna akhlaq  karena memahaminya dengan wordview luar islam. Akibatnya, makna akhlaq menjadi sempit dan sekedar hubungan anatara sesama manusia, seperti sopan santun, toleransi, kasih sayang, saling menghargai, dan sebagainya. Padahal, akhlaq adalah istilah khas dalam islam sehingga untuk memahami makna akhlak haruslah dengan perspektif islam.

Dalam perspektif islam, ahklaq bukan sebatas sopan santun terhadap sesama. Ahlaq sangat terkait dengan aqidah, syariah, dan muamalah. Akhlaq mencakup hubungan kepada Allah (hablunminallah) dan hubungan kepada sesame (hablunminannas). Secara vertical harus baik, demikian juga secara horizontal.
Ketika berbicara tentang ahklak, yang paling utama adalah akhlaq kepada Allah Swt. Yaitu dengan mengakui dan menyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dengan sebenar-benarnya. Tidak menyekutukan Allah dengan apa pun, seperti berhala, kuburan, harta, pangkat dan jabatan. Serta meyakini bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakan dan Allah adalah satu-satunya tempat bermohon dan temapat kita mengadukan segala urusan.
Kedua adalah akhlaq kepada Nabi Muhammad Saw. Yaitu dengan mengakui dan menyakini bahwa Nabi Muhammad Saw. Adalah Nabi terakhir yang diutus Allah Swt. Beliau diutus dengan membawa agama islam untuk kebahagian manusia di dunia dan akhirat. Kita mengikuti sunah-sunahnya serta meneladani akhlaqnya.
Selanjutnya adalah akhlaq kepada sesama, seperti kepada orang tua, guru, sanak saudara, teman, tetangga, termasuk kepada orang yang berbeda agama. Orang yang rajin shalat, rutin membaca Al Qur’an, bertahajud di malam hari, dan sebagainya belum bisa disebut orang berakhlaq jika masih sering berbuat curang atau mengambil sesuatu yang bukan haknya-apalagi dengan cara yang zalim atau sering mengganggu dan menyakiti orang lain.
Begitujuga sebaliknya.Orang yang peduli pada kebersihan lingkungan, belum bisa dikatakan berakhlaq jika belum biasa membersihkan dirinya dari noda kemusyrikan. Orang yang murah senyum dan toleran terhadap sesama belum biasa dikatakan berakhlaq jika ia seorang pezina, homo, atau lesbi. Orang yang sering membantu orang lain yang membutuhkan belum biasa dikatakan berakhlaq jika ia membantu dengan uang hasil korupsi atau judi.
Jika ahklaq dipahami sebatas sopan santun, mungkin ada orang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. adalah orang yang tidak berakhlaq karena berkata kepada ayahnya yang menyembah berhala, “pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dalam kesesatan yang nyata”. Sebaliknya, orang yang ateis, musyrik, atau murtad dianggap berahklaq hanya karena ia toleran kepada sesama. Seorang pelacur dianggap berakhlaq asalkan ia menyayangi buah hatinya yang dinafkahi dari hasil melacurnya.
Begitulah jika akhlaq dipahami dengan perspektif luar islam. Makna akhlaq menjadi sempit karena memisahkan hubungan kepada Allah dan hubungan kepada sesama. Dalam Al-Qur’an dan hadis digambarkan bagaimana akhlaq tidak memisahkan unsur-unsur ketuhanan dan kemanusiaan. Didalam QS Al-baqarah ayat 3 disebutkan bahwa kriteria orang-orang yang bertakwa adalah:
“(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.”
Kemudian dijabarkan secara lebih luas ayat berikut,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, dan  (memerdekakan) hambasahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Dalam hadits disebutkan,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya, dan barang siapa  yang beriman kedapa Allah dan hari akhi rmaka hendaklah ia berbicara yang baik atau diam.”
Dalam hadits lain disebutkan:
“Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur malam dalam keadaan kenyang sementara tetangga sebelahnya lapar dan dia mengetahui.”
Singkatnya, jika akhlaq dipahami dan diaplikasikan dengan pandangan islam (Islamic worldview), maka akan lahir manusia-manusia berkepribadian yang mengagumkan, serta memiliki kesalehan individu dan kesalehan sosial. Sementara itu, jika akhlaq dipahami dan diaplikasikan dengan pandangan luar islam, justru akan melahirkan manusia-manusia dengan kepribadian yang tidak utuh (spilt personality). Hanya baik pada satu aspek (sosial) tetapi kering secara spiritual.
*Penulis adalah Mahasiswa STAIL semester 6, jurusan Dakwah.
Teruskan :

Posting Komentar

Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Asosiasi Penulis Islam (API) Surabaya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger