Janji


Oleh: *Ahmad Tahfif
“Hujan itu apa, yah?” tunjuk Nanda kecil pada rintik bening yang berjatuhan di luar jendela. Suaranya begitu manja di telinga Arsyad. Ia merangkul gadis kecil itu dan menempelkan kepalanya di rambut halus Nanda kecil.
“Hujan itu… limpahan rahmat yang diberikan Allah untuk kita. Nanda tahu, kalau air hujan tak pernah berhenti berputar? Ia masuk ke dalam tanah, mengikuti arus sungai, ’menginap’ di laut, lalu terbang ke langit. Setelah itu mereka berloncatan ke bawah lagi. Ia terus bermain dan suka sekali menyiram tanaman.” Nanda kecil terpana. Mata bulat indahnya berkilau di terpa cahaya lampu yang menerangi kamar. Rambutnya jatuh dengan lembut tepat di bahunya, menutupi kedua telinga yang digantungi bintang kecil. Sejenak, ia tampak berfikir.

“Nanda juga suka menyiram bunga di halaman sama bunda. Tapi kok, Nanda tidak bisa terbang dan loncat lagi seperti hujan, yah?”  tanya Nanda heran.
“Ha.. ha.. ha..” Arsyad tertawa seraya mengusap kepala Nanda dengan penuh kasih sayang. Ia sangat mencintai dan menyayangi peri kecilnya ini.
***
Nanda kecil sudah duduk di bangku kelompok bermain saat ini. Ia tergolong anak yang cerdas dan pandai. Arsyad dan istrinya, Zahra, sangat bersyukur atas kehadirannya dalam hidup mereka. Nanda kecil tak hanya mencerahkan hari-hari dan rumah mereka, tapi juga memberi kebahagiaan tiada tara. Rumah tangga mereka bagaikan pohon apel. Mereka tanam benih cinta hingga tumbuh batang, dahan, lalu daun. Mereka jaga tubuh pohon itu dari hempasan angin dan lebatnya hujan berguntur sebagai wujud dari prahara rumah tangga agar tak tumbang. Mereka sirami dengan kasih sayang dan kesetiaan hingga rindang dan akhirnya berbunga. Setelah melewati fase-fase bunga yang bermekaran dan gugur, muncullah sebuah apel merah yang cantik. Kini kebahagiaan mereka telah sampai pada saat yang dinanti. Saat dimana hasil dari jerih payah dan kesabaran mereka dapat mereka petik, dan mereka miliki.
Pekerjaan Arsyad di bidang militer membuatnya harus rela meninggalkan sang buah hati dalam kurun waktu yang tak singkat. Namun ia bersyukur memiliki seorang pendamping hidup yang sabar seperti Zahra. Ia mengenal tulang rusuknya itu saat ia ditugaskan ke Somalia. Waktu itu ia sedang berjaga di tenda pengungsian, dan bertemu Zahra sebagai perawat dari satuan relawan nasional. Arsyad yang belum pernah merasakan indahnya anugerah dari Allah, luluh melihat kegesitan jari-jari Zahra yang lentik. Sepulang dari sana, mereka berkenalan di pesawat yang sama. Di sinilah takdir mempertemukan mereka. Indahnya permulaan perjalanan cinta mereka disaksikan oleh puluhan rekan lain dengan penuh haru. Lihatlah, kebaikan hati mereka yang hendak menolong saudara-saudari muslim dan muslimah di bumi anbiya terbalas dengan kebahagiaan yang luar biasa. Sungguh indah rencana Allah bagi hamba-Nya yang mencintai kaum mukmin lainnya.
Beberapa bulan kemudian, Zahra dinyatakan tengah mengandung sedangkan Arsyad masih berada di tim SAR yang ikut mencari korban longsor di luar kota. Wanita itu setia menunggu hingga suaminya pulang. Tibalah ia di detik-detik kelahirannya. Arsyad masih berada di luar kota. Saat itu tak ada kabar apapun darinya. Zahra hanya bisa bertawakkal pada Illahi. Berdo’a agar proses melahirkannya dimudahkan meski tanpa lelaki tercinta di sisinya, dan agar Dia tetap menjaga suaminya sampai ia bisa melihat wajah malaikat kecilnya. Namun Allah tak menginginkan itu. Dia tetap mengizinkan Arsyad untuk menggenggam tangan istrinya di momen yang paling menentukan itu. Tepat ketika dokter menyatakan Zahra sudah siap melahirkan, ia datang dengan keringat yang masih hinggap di keningnya. Ia bergegas duduk di samping Zahra dan menyemangatinya hingga tangisan sosok yang mereka nantikan bergema. Dengan bangga ia mengadzan-kan dan mengiqamahkan telinga sang bayi. Zahra menitikkan air mata bahagianya. Bahagia memiliki seorang suami yang sangat mengasihinya bahkan di sela-sela kewajibannya.
Hari-hari Arsyad bersama Nanda kecil tak pernah ia sia-siakan meski untuk sekedar beristirahat. Kadang ia tertidur di sofa dengan wajah tampannya yang letih. Cambang tipis tampak menghiasi kedua sisi pipinya. Menandakan ia terlalu sibuk untuk memerhatikan hal-hal kecil di dirinya. Tangannya yang kekar senantiasa menggendong Nanda kecil dan mendudukkannya di bahunya yang lebar dan tegak. Dan dada bidangnya sesekali ia gunakan sebagai ‘kasur’ Nanda bila anak itu kelelahan bermain dengan sang ayah. Bagi Zahra, ini adalah pemandangan terindahnya. Melihat dua insan yang sangat ia cintai bersama setelah kepergian orangtuanya sejak masih di usia belia. Arsyadpun sama. Baginya, tak ada pemandangan terindah selain melihat senyum Zahra dan Nanda kecil yang terus membayanginya kala ia bekerja. Namun dinding rintangan rumah tangga mereka terus dibangun. Lagi, setiap ia bersama dengan Nanda kecil, tugas-tugas kembali dilayangkan padanya.
“Gaza?” Zahra memasang wajah cemas sambil menimang ‘kelinci lucu’ mereka yang tertidur pulas di pelukannya. Arsyad mengernyitkan dahinya.
“Ya. Gaza. Kamu akan menjaga perbatasan Rafah. Besok sebelum berangkat, kamu harus ke kedubes bersama petugas medis dari mercy dan relawan lainnya.” Lelaki itu meletakkan kembali gagang telepon di tempatnya. Ia terduduk lemas di sofa. Zahra mendekatinya.
“Kau ditugaskan lagi?” Arsyad hanya bisa mengangguk. Kedua tangannya menopang kening sementara kedua siku di atas lutut. Sementara Zahra tersenyum manis di hadapannya.
“Tidak apa. Aku akan menjaga Nanda. Kita sudah terbiasa berpisah, ’kan? Ingat. Kewajiban pribadimu memang untuk menjagaku dan buah hati kita ini. Tapi kewajibanmu yang sesungguhnya adalah kepada Negara dan kaum muslimin yang hidup dan mati mempertahankan iman mereka. Jutaan jiwa yang terlena menunggu uluran tanganmu.” Kata Zahra meyakinkan Arsad.
Arsyad menengadah, memandang wajah Zahra yang tenang seraya berkata “Ya Rabb… ia pasti akan sangat merindukan senyuman itu. Senyuman yang mampu mendiamkan getaran kegundahannya yang tak terkendali. Senyuman yang mampu membangkitkannya dari rasa letih akan tugas-tugasnya yang mulia.”
“Dinda… kau tahu Gaza itu apa?..”
“Kau tahu Gaza itu di mana?..”
“Kau tahu bagaimana warna langitnya?..”
“Kau tahu seperti apa tanahnya?..” 
“Kau tahu apa saja aktifitas yang terjadi di sana!”
 “Kau tahu suara apa saja yang bergema tiap siang dan malam hari?..”
“Kau tahu sudah berapa yang harus meraih tangan Izrail dan meninggalkan orang-orang yang mereka kasihi begitu saja…” kata Arsyat dengan suara tegas namun tertahan lantaran bibirnya bergetar menahan emosinya.
 Zahra menatapnya dengan dalam. Mengalirkan energi semangat dan kepercayaan pada hati Arsyad, kemudian berkata “Pergilah. Aku akan menjaga Nanda.”
Zahra mengulangi kalimatnya “Pergilah. Aku akan menjaga Nanda.”
 Lelaki di hadapannya menghela nafas dan tertunduk, lalu mengangguk pelan. Baiklah, mulai besok ia akan menuruti atasannya. Meninggalkan gadis kecilnya yang tak pernah bisa bersamanya walau sepekan. Ia akan meninggalkan Zahra dan Nanda kecil bersama dengan untaian do’a sebelum keberangkatannya. Ke Gaza, Palestina.
***
“Kapan ayah pulang?..” tanya Nanda manja, dengan terbata-bata.
Arsyad menggigit bibirnya. Entah sudah berapa kali ia harus meyakinkan putrinya kalau ia pasti akan pulang.
“Hmm… sebentar lagi Nanda. Ayah pasti pulang, kok. Nanda mau dibelikan apa kalau ayah pulang?” tanya Arsyad kepada putrinya.
Nanda kecil mengerjapkan matanya. “Apa ya?.” Tanyanya bingung, pasalnya ia tak pernah menginginkan sesuatu apapun dari pria tercintanya itu.
“Tidak usah, yah. Asal ayah di rumah, main sama Nanda, Nanda sudah senang kok, yah…” jawab nanda sambil tersemut manis, hingga tampak jelas kedua lesung pipinya.
Zahra mengusap kepala gadis kecilnya. Seperti biasa, kekaguman menyelimuti hatinya karena pengertiannya yang luar biasa. Nanda kecil tak pernah marah bila sang ayah tak bisa pulang tepat waktu. Meskipun Arsyad tetap merasa bersalah, tapi Nanda selalu memakluminya.
“Ya sudah… ayah mau kerja lagi. Nanda jaga bunda baik-baik ya” kata Arsyad seraya meliri ke kiri dan ke kanan.
“Oh iya, ada yang lupa. Ayah sayang bunda. Sst… jangan kasih tahu bunda ya..!” pesan Arsyad dengan suara berbisik sambil melenempelkan jari telunjuknya ke bibirnya sebelum menutup percakapannya.
“kikikk.. kikikk..” (terdengar kikikan Nanda oleh Arsyad)
“Hihi. Iya, yah. Bunda juga jagain Nanda di sini. Dah ayah… cepat pulang. Nanda sayang ayah!” ucap Nanda masih dengan senyum yang mengembang.
“Iya. Ayah juga sayang Nanda. Sampaikan salam ayah pada bunda, ya… Bilang, ayah kangen sama bunda dan Nanda. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Jawab Nanda.
“Tut.. tut.. tut..” Telepon diputus, Zahra menyimpan kembali ponselnya dan memeluk Nanda.
“Ayah bilang ayah kangen sama bunda dan Nanda.” cerita Nanda  kepada bundanya dan Zahrapun tersenyum mendengarnya.
“Kita juga kangen ’kan, sama ayah?.. Nanti, kalau Allah sudah membolehkan ayah pulang, kita bisa berkumpul lagi…” kata Zahra meyakinkan Nanda.
Beberapa saat kemudian Nanda merapatkan kedua matanya seraya berkata “Ya, Nanda tahu. Ayah pasti pulang.”
Sementara Arsyad kembali bergelut di antara desingan peluru, lantran harus membantu saudara-saudaranya bangkit dari kelumpuhan mereka. Menggendong mereka ke tenda-tenda perawatan tempat para medis memulihkan luka mereka atau sekedar menjaga bangunan-bangunan yang tak sepenuhnya utuh karena hancur di hantam rudal-rudal iblis.
Setiap seminggu sekali, ia menelpon Zahra untuk sekedar mengetahui keadaan Nanda. Hal ini amatlah berat buat Arsyad, pasalnya ia hanya bisa membayangkan wajah Nanda yang menggemaskan atau senyum Zahra yang mampu membelai hatinya. Rasa rindu tak terperi kian mengisi malamnya kala ia terjaga dari tidurnya.
“Allah, ku harap Engkau masih mengizinkanku untuk bertemu kedua belahan jiwaku kelak” panjatnya di setiap penghujung malam.
Dua bulan telah berlalu. Tibalah Arsyad pada hari terakhir tugasnya. Ia mengunjungi kedubes RI di mesir bersama rekan tentara garuda yang lain. Dalam hatinya ia memanjatkan beribu rasa syukur, karena ia akan segera menemui gadis kecilnya. Menggendong dan mengangkatnya hingga ke kepala, atau mendudukkannya di punggung layaknya anak yang bermain kuda-kudaan. Lalu ia akan merangkul Zahra, istri tercintanya. Membelai pipinya yang halus, dan mencium keningnya yang selalu lembut.
“Arsyad Abdul Kahfi..! relawan Garuda asal Indonesia?..” tanya petugas dihadapnnya.
Arsyad mengangguk, kemudian pria di hadapannya melirik kertas di mejanya dan Arsyad bergantian. Ia lalu menulis sesuatu di atas kertas itu.
“Kamu saya pindah tugaskan ke al-Aqsha. Masanya juga saya perpanjang. Enam bulan.” Kata pria itu dengan tegas.
Arsyad terhenyak. Tubuhnya seperti tersengat mendengar lontaran itu.
“Enam bulan?.., Ya Rabb… ujian apa lagi yang tengah Engkau berikan padaku?.., tak bisakah barang sehari aku melihat wajah kedua bidadariku dahulu?..” ratap Arsyad seraya menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Berkemaslah. Besok pagi kamu akan segera berangkat.” Kata pria itu lagi.
 Arsyad membungkuk. Ia membalikkan badannya dan berjalan keluar dengan sejuta perasaan.
“Nanda, kamu harus bersabar sampai ayah kembali, nak…” gumamnya lirih.
Terhempas sudah semua keinginannya untuk segera memeluk buah hatinya yang sangat ia kasihi. Namun ia tetap yakin, suatu saat, Allah pasti akan mengizinkannya berkumpul lagi. Pasti.
***
“Nanda… Maafkan ayah. Ayah belum bisa kembali, nak. Maaf… kalau ayah pulang nanti, Nanda boleh peluk ayah sepuasnya… ayah janji.” Nanda kecil mengerut. Aneh, biasanya ia memaklumi keterlambatan ayahnya. Tapi kali ini ia tampak kecewa. Nanda tak berkata-kata. Arsyad mulai khawatir. Apa Nanda marah padanya?
“Mas?” Zahra meraih ponselnya. Nanda masih terdiam dengan mata berkaca.
“Ah, Dinda! Nanda baik-baik saja?” Zahra tersenyum. Ia bisa membayangkan wajah cemas lelaki itu. Pasti Arsyad sangat merasa bersalah.
“Dia baik-baik saja. Mas tidak perlu khawatir. Mungkin Nanda sudah terlalu kangen sama mas.” jelas Zahra berusaha menenangkan Arsyad. Terdengar helaan nafas di seberang sana.
“Syukurlah, dik. Mas benar-benar bingung. Masa tugas mas masih empat bulan lagi. Tapi tak boleh semenitpun mas beranjak dari sini. Mas harus tetap bekerja.” Arsyad mengernyitkan dahinya. Suaranya mulai terdengar sendu.
“Sudah. Mas jalankan saja amanahnya. Zahra juga menjalankan amanah dari mas dan Allah disini. Jaga diri mas baik-baik, ya…?” ujar Zahra seraya mengusap kepala Nanda. Gadis cilik itu masih dengan raut kecewanya.
“Hhh… iya, dik. Terima kasih. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” jawab Zahra.
Suara di seberang sudah tak terdengar. Ia memandangi Nanda. Zahra paham betul, gadis ini memang suka menunggu. Tapi bila yang diinginkan tak kunjung terkabul, ia akan ngambek.
Bulan ramadhan telah tiba. Di rumah sederhananya, Zahra dan Nanda menjalani hari penuh berkah mereka tanpa sang imam. Kesabaran mereka sedang teruji untuk yang kesekian kalinya. Tak apalah. Allah tahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Dia telah menyiapkan rencana terindah untuk mereka. Sampai Idul fitri berlangsung, tak sedikit dari keluarga Arsyad yang ingin mengetahui keadaan saudara mereka. Bila menanyakan hal itu pada Nanda, ia akan terdiam. Tapi kemudian dengan riangnya berkata “Ayah akan pulang nanti. Ayah sudah janji.” Meskipun beberapa saat setelah itu ia akan kembali murung.
“Sabarlah, Zahra. Nanda hanya butuh sedikit pengertian.” Zahra mengangguk. Di saat seperti ini ia memang membutuhkan nasehat dari orang terdekatnya, terutama dari sang ibu mertua yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri.
Waktu terus berlalu. Meninggalkan Zahra dan Nanda dalam penantian mereka. Segumpal rasa rindu yang setia menemani siang dan malam turut menghias relung hati mereka. Terkadang, hembusan angin membawa pesan dari seberang sana, melintasi benua dan samudera agar sampai ke balik pintu. Zahra tak pernah berhenti berdo’a. Kecemasan yang kadang kala hadir karena sudah dua minggu Arsyad tak mengabarinya terukir lewat harapannya. Telapak tangan halusnya tak pernah lelah menghadap langit-langit kamar, mengirimkan do’a-do’a dan untaian kata indahnya.
“Zahra, tegarkanlah hatimu.” wanita itu menarik nafas dalam. Segenap takbir dan tahlil terucap dari lidahnya.
“Berbahagialah… suamimu telah menjadi munsyid. Kelak, ia akan menyusul mujahid lainnya di pintu surga.” wanita tegar itu akhirnya kalah. Air matanya yang menumpahkan lautan cintanya telah mengalir. Nanda kecil menatapnya iba. Apakah ayah tak akan kembali? Benaknya.
Jum’at pagi penuh duka. Tanah tampak kering. Embun pagi tak lagi bertengger di pucuk daun, segera menguap mengiringi kepergian ruh yang ikhlas menjalani kehidupannya. Langit justru sebaliknya, tampak begitu cerah. Berbahagia menyambut sosok kebanggaan bumi yang bersahaja. Di hari yang sama, bulan yang berbeda. Allah menjemputnya dan mengizinkannya kembali ke kediaman kedua makhluk terkasihnya. Nanda kecil memandangi jasad ayahnya yang sudah terbujur kaku. Luka tembak di bagian dadanya sudah tertutup kain kafan yang bersih. Kabarnya, Arsyad melindungi salah seorang warga palestina dari kejaran zionis. Sebagai gantinya, ia menerima tembakan tepat di jantungnya. Gugurlah semua kewajibannya saat itu. Ia ditemukan dalam kondisi tak bernyawa namun dengan senyum yang melambangkan ketenangannya.
“Bunda, tahu tidak? Ayah kemarin janji, kalau ayah pulang, Nanda boleh memeluknya sepuasnya.” ujar Nanda kecil pada Zahra. Ia lalu melingkari tangannya ke perut sang ayah, dan meletakkan kepalanya di dada Arsyad.
“Iya, ayah tidak bohong, kok. Ayah selalu tepat janji.” bisik Nanda kecil, terisak

*)Penulis adalah anggota API dan ketua LDK STAIL Surabaya priode 2012-2013
Teruskan :

Posting Komentar

Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Asosiasi Penulis Islam (API) Surabaya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger