Oleh: Luqman Hakim*
Ketika berbicara ilmu, kita akan menyatakan bahwa
ia adalah sesuatu yang baik dan tidak bermasalah. Ilmu memiliki faedah yang
sangat banyak. Dengan ilmu, memungkinkan bagi kita terlepas dari kebodohan,
terangkis dari kemiskinan, dan kita pun juga bisa terselamatkan dari kobaran
api neraka. Itulah ilmu. Banyak sekali manfaat yang terkandung di dalamnya.
Bahkan dengan ilmu- yaitu dengan terbentuknya tradisi ilmu-, peradaban Islam
bisa kembali jaya di dunia. Lantas jika demikian halnya, mengapa ilmu harus
diislamkan? Mengapa harus ada Islamisasi ilmu?
Westernisasi Ilmu
Pada dasarnya ilmu memang baik dan tidak mempunyai
masalah. Ilmu mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Akan
tetapi, kita tidak bisa menampik kenyataan bahwa westernisasi (pem-Baratan)
telah menyentuh segala bidang. Westernisasi tidak hanya melanda budaya, moral,
ekonomi, ataupun politik kita; melainkan juga ikut “menerjang” disiplin
keilmuan. Dampak yang dihasilkan terhadap disiplin keilmuan tidak bisa
dikatakan sepele, yaitu konsep ilmu kemudian menjadi rancu. Westernisasi telah
menjadikan ilmu problematis. Sekalipun westernisasi telah menghasilkan ilmu
yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun, tidak dapat dinafikan juga bahwa
westernisasi ilmu telah menghasilkan ilmu yang telah merusak, khususnya spiritual
kehidupan manusia.
Hal itu dikarenakan, epistemologi (cara
memperoleh ilmu / sumber ilmu) Barat modern berangkat dari praduga-praduga,
prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis (keraguan) tanpa didasarkan pada
wahyu. Dengan begitu, ilmu pengetahuan Barat itu menghasilkan sains (ilmu
pengetahuan) yang hampa akan nilai-nilai spiritual. Dan akhirnya, seperti
disimpulkan Al-Attas, epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran [lihat:
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. 1995. Prolegomena to the Metaphysic of Islam: an
Exposition of the Fundamental Elements of the World View of Islam. ISTAC. Kuala
Lumpur. Hal. 117. Lihat juga: QS.10:36]
Kalau kita melihat sejarah pemikiran Barat modern
– yang dimulai sejak abad ke-16-, maka akan kita temukan fakta bahwa
epistemologi Barat modern tidak didasarkan pada konsep wahyu. Bahkan, ilmu-ilmu
yang ada didasarkan pada paham ateisme (paham anti –Tuhan).
Adalah Rene Descartes (1591-1650) yang
disebut-sebut sebagai peletak dasar filsafat modern yang oleh para sejarawan
Barat kemudian diberi gelar Bapak filsafat modern. Ia telah memformulasikan
prinsip, aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Dengan prinsip ini,
Descartes telah menjadikan rasio sebagai satu-satunya kriteria (rasionalisme)
untuk mengukur kebenaran. Jadi jelas, wahyu tidak masuk kriteria Descartes
sebagai sumber kebenaran.
Lalu muncul David Hume (1711-1776) yang memiliki
pendapat berbeda dengan Descartes. Hume menegaskan bahwa panca indera
(penglihatan, pendengaran, dll) merupakan sumber ilmu (empirisme). Dari sini
Hume kemudian menyimpulkan bahwa ilmu tidak mungkin dapat diraih
(skeptisisme).
Berbeda dengan Hume, Immanuel Kant
(1724-1804) berpendapat bahwa ilmu itu mungkin diraih (knowledge is possible).
Akan tetapi, Kant menyatakan bahwa metafisika (hal-hal ghaib) adalah tidak
mungkin diraih, karena ia tidak berdasarkan panca indera. Kant kemudian
menyimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan metafisis (berhubungan dengan hal-hal
ghaib) tidak memiliki nilai epistemologis.
Terpengaruh pemikiran kant, Hegel (m.1831)
kemudian berpendapat bahwa pengetahuan adalah on-going process, di mana apa
yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang. Pemikiran Hegel ini
kemudian dikenal dengan filsafat dialektika Hegel.
Mendominasinya epistemologi sekuler dalam
peradaban Barat pada zaman modern membawa dampak terhadap munculnya paham
ateisme (paham yang tidak mempercayai Tuhan). Ludwig Feurbach (1804-1872),
seorang teolog Kristen yang berguru pada Hegel, merupakan salah satu perintis
paham anti Tuhan (ateisme) ini. Ia menegaskan prinsip filsafat bahwasanya yang
paling tinggi adalah manusia, bukan Tuhan. Menurutnya, agama adalah mimpi akal
manusia (religion is the dream of human mindi).
Pemikiran Feurbach ini kemudian mempengaruhi Karl
Max (m. 1883), seorang tokoh ateisme yang sangat terkenal. Ia menyatakan bahwa
agama adalah candu rakyat. Baginya, agama hanyalah faktor sekunder, sedangkan
faktor primernya adalah ekonomi. Selain itu, ia juga berpandangan bahwa agama
adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia
adalah suatu roh zaman yang tanpa roh.
Pada perkembangannya, paham ateisme kemudian
berpengaruh berbagai bidang disiplin keilmuan. Dalam bidang ilmu biologi misalnya,
muncul nama Charles Darwin (m. 1882). Darwin berkesimpulan bahwa Tuhan tidak
berperan dalam penciptaan. Menurutnya, asal mula spesies (origin of species)
bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan”.
Adapun masuknya paham ateisme dalam disiplin ilmu
sosiologi, dimulai oleh Auguste Comte. Penemu istilah ‘sosiologi’ ini
berpandangan bahwa kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan
masyarakat. Penolakannya kepada Tuhan kemudian diikuti oleh Emile Durkheim (m.1917)
dan Herbert Spencer. Keduanya adalah ahli sosiologi dan antropologi. Spencer
menegaskan bahwa adanya agama bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit
di dunia lain. Ilmu psikologi pun tak luput dari paham ateisme.
Seorang psikolog terkemuka, Sigmun Freud (m.1939),
menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Menurutnya, agama tidak sesuai
realitas dunia dan tidak bisa menjadi jalan untuk membimbing ke arah ilmu
pengetahuan.
Sementara itu dalam ilmu filsafat, kritik terhadap
eksistensi Tuhan juga bergema lebih kuat. Friedrich Nietzche (1844-1900)
misalnya, menyatakan bahwa Tuhan sudah mati. Dari situ, Nietzche pun
berpandangan bahwa agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan.
Menurutnya, antara agama dan sains yang benar, tidak terdapat keterkaitan dan
persahabatan. Bahkan, katanya, antara agama dan sains saling bermusuhan; dan
keduanya menetap di bintang yang berbeda.
Penting dan Mendesak
Melihat kenyataan di atas, maka ilmu yang
berkembang di Barat tidak semestinya
harus diterapkan di dunia muslim. Karena, ilmu-ilmu tersebut tidak dibangun di
atas wahyu dan kepercayaan agama, melainkan hasil dari kebingungan dan
skeptisisme. Westernisasi ilmu juga telah mengangkat keraguan dan dugaan ke
tahap metodologi ilmiah; serta menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi
yang sah dalam keilmuan. Selain itu. Menurut Al-Attas, ilmu bisa dijadikan alat
yang yang sangat halus dan tajam dalam menyebarluaskan cara dan pandangan hidup
suatu kebudayaan. Sebab, ilmu bukan bebas nilai (value free), tetapi sarat
nilai (value laden) [lihat: Syed Muhammad naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 49].
Namun, penolakan terhadap paradigma Barat tidak
serta merta bermaksud menafikan juga persamaan yang terdapat antara
epistemologi Barat dan Islam. Hanya saja yang perlu ditekankan adalah, ada
perbedaan mendasar antara Islam dan Barat, yaitu worldview (pandangan hidup).
Selain itu, Barat menafikan wahyu sebagai sumber ilmu. Padahal dalam Islam,
wahyu merupakan sumber ilmu yang tidak bisa dinafikan. Ia merupakan sumber ilmu
tentang realitas dan kebenaran akhir berkenaan dengan makhluk ciptaan dan
pencipta.
Oleh karena itulah, Islamisasi ilmu penting dan mendesak untuk dilakukan oleh
para praktisi pendidikan. Sebab,
hegemoni westernisasi ilmu yang melanda peradaban dunia, telah
menghasilkan manusia-manusia pandai; namun memiliki pemikiran sekuler dan tidak
memiliki kebanggaan akan keislaman mereka.
*Penulis
adalah anggota
API
(Asosiasi Penulis
Islam) Panceng-Gresik dan Alumnus
Pendidikan Pengkaderan Ulama (PKU) Gontor, Jatim. Tinggal di
luqman-online.blogspot.com
Posting Komentar
Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..