PAK PRESIDEN,,,MAKANLAH BERSAMA KAMI





Oleh : Ahmad Tahfif*

Hujan yang disertai angin sejak sore tadi sungguh membuat Mbok Min kerepotan. Ia bersama cucunya sibuk dengan ember-ember plastik yang sudah robek di bagian atasnya menadahi bocor di setiap sudut gubuknya. Beberapa atap sengnya berpindah dari tempat asalnya akibat kencangnya angin yang bertiup, sehingga mengakibatkan air hujan mudah sekali masuk ke dalam gubuk sederhana itu.
Sambil menunggu hujan reda, Mbok Min dan dua cucunya duduk di depan perapian, sekadar menghangatkan badan. Mbok Min sibuk membolak balikan singkong yang sedang ia bakar, bersama cucunya yang berusia 5 tahun, Titi. Sementara  cucu satunya lagi, Tini, tengah membuka kantong plastik berisi buku sekolahnya di atas dipan kayu dekat perapian, dengan ditemani lampu minyak seadanya gadis kecil itu mengerjakan pekerjaan rumah di sana, mengindari diri dari  tempat yang terkena bocoran. Karena hanya di sana tempat yang nyaman. Dan di sanalah ketiganya setiap malam tidur, menikmati setiap mimpinya.

Mbok Min, wanita tujuh puluh tahunan ini memang hanya tinggal dengan dua orang cucu perempuanya, cucu yang pertama bernama Tini, usianya delapan tahun dan yang kedua berusia lima tahun bernama Titi.  Anak semata wayangnya bersama sang menantu meninggal tiga tahun lalu akibat sebuah kecelakaan, angkutan desa yang biasa menapaki jalan pegunungan yang terjal di kampungnya, terguling ke sebuah jurang yang cukup curam, tak ada satu orangpun penumpangnya yang selamat. Ia meninggal sepulang dari menjual getah pinus yang biasa mereka ambil dari hutan pinus yang di kelola pemerintah perhutani setempat. Dan sejak saat itu, kedua cucunya menjadi anak yatim piatu. Ialah yang bertanggung jawab membesarkan kedua bocah yang belum mengerti apa apa tersebut.
Dimusim-musim tertentu, Mbok Min bekerja sebagai buruh di tempat seorang juragan di kampung tersebut namun tak setiap hari. Menjaga  burung-burung dari tanaman padi yang sedang berisi jika sedang musim padi.  Jika musim panen telah tiba, ia akan menjadi buruh panen, demikianlah pekerjaan Mbok Min. Tergantung kepada musim, apa saja ia lakukan demi menghidupi dirinya dan dua cucunya. Jika tidak, maka ia hanya mengandalkan tanaman di kebunnya yang bisa ia jual. Itupun tak bisa setiap hari.
“Mbah… Lapar…”
Pukul tujuh lewat beberapa menit, Tini baru saja menyelesaikan tugas rumahnya. Gadis kecil itu mendekati mbahnya di depan perapian. Mbahknya memberikan sepotong singkong bakar yang ia dapat dari seorang tetangga siang tadi. Sementara sang adik, Titi, sedang menikmati singkong bagianya di sebelah mbahnya.
“Ati-ati nduk… Masih panas…” Katanya. Seraya membelah singkong menjadi dua, supaya panas di dalam keluar dan bisa dimakan dengan cepat oleh sang cucu.
“Tini buat sambel ya mbah???” Gadis kecil itu berdiri ke arah lemari kayu berwarna hitam,  lemari kayu yang telah termakan usia, tanpa mendengar persetujuan mbahnya. Di sana ia mengambil cobek yang terbuat dari tanah, sedikit garam dan beberapa biji cabe rawit hijau.
Tini kembali duduk di sebelah mbahnya. Dengan sambal korek seadanya. Sangat sederhana makan malam keduanya.  Singkong bakar dengan sambal garam dan cabe. Makannya dengan cara di colek, sungguh… Keduanya sangat menikmati.
Rintik hujan diluar belumlah reda, ketiganya kini tengah terlelap di atas dipan kayu dekat perapian. Dengan segala mimpi indah yang esok mungkin telah terlupakan. Mimpi makan nasi sehari tiga kali dengan segenap lauk pauknya, di negeri yang katanya subur dan makmur ini. Bukan mimpi makan pizza ataupun pasta. Mereka tidak mengenal makanan itu. Hanya nasi, itu sudah cukup baginya.
Namun mimpi hanyalah mimpi… Pejabat sibuk dengan kerjaanya ramai-ramai korupsi. Calon-calon pemimpin sibuk dengan kampanyenya dan janji manisnya sebagai politisi. Jual liur dan ludah di sana sini. Orang miskin akan terlihat ketika ia diperlukan empat tahun sekali.
***
Pagi telah tiba, burung-burung berkicau menyambut indahnya mentari pagi. Namun kebingungan terpancar dari mata mbok Min. Kedua cucunya duduk termangu di sebelahnya, menahan lapar di perutnya. Menunggu mbahnya memberikan barang sepotong ubi rebus atau singkong bakar untuk sarapan paginya.
Tak ada beras sejak dua hari lalu. Ia hanya tergolek di dipan dengan pandangan lesu. Mbok Min tak bisa lagi bekerja untuk mencari sesuap nasi sejak dua hari lalu. Badannya panas dan lemah.   Tak ada uang untuk membeli, sementara ia sudah banyak berhutang di warung tetangga. Kedua cucunya perlu makan, ia tak memikirkan dirinya sendiri, ia masih sanggup bertahan, kendati makan memang diperlukan  untuk tubuh rentanya. Kemarin, ia hanya sanggup memberikan dua cucunya nasi aking. Dan hari ini???
Pada saat ia bergolak dengan batinnya, seorang tetangga keluar rumah bersama kedua anaknya, sepertinya hendak jalan-jalan ke kota kecil di kecamatan, hari minggu, mungkin ia baru saja mendapat uang lebih.
“Gusti… Ampuni saya…” Batinnya.
Beberapa menit setelah sang tetangga keluar rumah, Mbok Min secepat mungkin masuk ke rumah sang tetangga dengan melewati jendela kayu yang tak begitu tinggi tanpa sepengetahuan cucunya. Ia mengambil sepiring nasi di bakul bambu rumah tetangganya tersebut. Kemudian ia cepat-cepat keluar.
Dengan gembira kedua cucunya menyambut nasi tersebut, Tini sesegera mungkin mengambil garam dari dapur, kemudian melahap nasi tersebut bersama adiknya. Sementara mbok Min hanya duduk termangu di hadapan kedua bocah tersebut. Dengan senyum. Dengan batin yang bergolak. Dengan tangis, meski tanpa air mata.
“Mbah kenapa ndak makan??” Tanya Titi cucu terkecil. Mbok Min hanya tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
“Mbok sudah kenyang” Jawabnya berbohong.
Tuan Presiden…
Makanlah bersama kami..
Nasi pagi ini hasil mencuri…
Demi menghidupi kedua cucuku ini..
Tuan persiden…
Lihatlah ke sini…
Jangan berpura pura buta dan tuli…
***
Malam telah larut, namun kampung kecil ini ramai tak sepeti biasanya. Beberapa warganya terlihat iba melihat pemandangan di hadapanya, beberapa lagi berteriak lantang.
“Tangkap pencuri nasi!!! Bawa ke polisi!! Adili!!!”
Mbok Min, berjalan tertatih, digiring beberapa warga kampung dan si pemilik nasi yang tadi pagi di curi. Piring bekas nasi di letakan di kepala mbok Min dan di ikat dengan tali seperti topi, mereka bilang ini sebagai bukti.
Tuan Presdien…
Lihatlah ke sini…
Betapa hukum adil bagi kami..
Namun tidak untuk pejabat yang korupsi…
Tuan presiden…
Mengapa kau dan jajarannmu tak peduli???Bukankah kalian belum tuli???
***
NB : Bacalah UUD 1945 pasal 34 ayat 1 : Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”
(Negara benar-benar memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar bukan,?? Agar  berkembang  semakin banyak dan dibiarkan. Mereka benar-benar dipelihara supaya tidak berkurang)
*Penulis adalah anggota API (Asosiasi Penulis Islam) Surabaya dan Ketua LDK STAI Luqman Al-Hakim Surabaya 2012-2013

Teruskan :

Posting Komentar

Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Asosiasi Penulis Islam (API) Surabaya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger