Cintakah Allah kepadaku?


Oleh:*M. Arifuddin
Kucoba  tuk berdiri tegak sekalipun penglihatanku berkunang-kunang lantaran menahan rintihan lambungku yang terus memberontak karena tidak kuisi meskipun hanya sebutir nasi, sehingga air keran di setiap masjid menjadi pelarian tuk membasahi kerongkonganku yang kering-kerontang. Sungguh aku belum makan sejak 4 hari yang lalu, bukan karena aku tak punya uang. Tapi disebabkan ATM, dompet, ponsel dan barang bawaanku telah dicuri oarang. Yach itu semua akibat keteledoranku.

Ketika itu aku ketiduran di bus jurusan Samarinda-Balikpapan, karena sebelumnya aku bergadang untuk mempacking barang-barangku. Padahal Aby dan Ummy sudah menyuruhku mempacking barang-barangku tiga hari sebelum keberangkatanku agar tidak terburu-buru. Tapi karena ulahku itulah semua rencanaku gagal dan menyebabkan aku terkatung-katung di kota Banua Patra (kota minyak)-Balikpapan, padahal aku harus terbang ke Surabaya pada pukul 02:05 WIT untuk menghadiri kontes jurnalistik di Tunjugan Plaza-Surabaya.
“Woi..! minggir..!” teriak pemuda bergaya punk seraya menyenggolku dengan tubuhnya yang kekar, sepontan saja aku kaget dan terhuyung ke pagar pembatas terotoar.
“Uh… nich orang kaya nggak liat aku ajach” gerutuku dalam hati, padahal bisa saja kuhajar orang itu. Apalagi aku pernah ikutan Wushu dan Tapak Suci, untung saja aku teringat dengan sebuah ayat yang artinya “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”. Akhirnya kuurungkan niatku tadi untuk balas memukulnya.
Tak jauh dariku tampak Ramayana berdiri megah dan mungkin itu salah satu alasan mengapa banyak masyarakat yang berkunjung ke sana ketimbang ke pasar-pasar tradisional. “Padahal notabene orang-orang yang berjualan disana adalah orang-orang non-muslim. Bukanakah dengan membeli barang-barang mereka berarti kita telah mendukung kesuksesan mereka dan hampir kebanyakan yang berbelanja disana adalah orang-orang muslim, masa hanya karena gengsi atau karena berburu diskon yang kalau dihitung-hitung dengan ongkos bensin dan tetek bengek lainya hanya berbanding seribu-dua ribu dengan harga barang-barang di toko tetangga kita, padahal berbelanja ditoko tetangga kita jauh lebih bermanfaat ketimbang berbelanja di mall-mall milik orang-orang non-muslim” gerutuku sebel.
“Coba dech kita renungkan, bukankah berbelanja di warung tetangga kita yang jelas-jelas seoarang muslim merupakan salah satu penguat tali silaturrahmi dan tentunya kita juga membantu suksesnya muamalahnya, yaa  nggak bro?” kataku pada diriku sendiri.
“Apalagi pada saat ini produk-produk kaum muslimin sudah menjamur di negri kita, mulai dari fhasion, makanan, obat-obatan serta barang-barang eletronik lainya” sambungku penuh semanagat.
* * *
Aku suka dan benci panas matahari, benci karena harus mencari tempat berlindung dari panasnya sinarnya, yang lebih menyebalkan lagi kulit putihku berubah menjadi hitam kemerah-merahan dan bahkan membuatnya terkelupas. Tapi aku selalu terpesona jika melihat papan ikalan, gedung-gedung serta kendaraan yang berlalu lalang terlihat mengkilat-kitat seperti berkeringat lantaran disorot dengan panasnya matahari di puncak siang. Mungkin aku merasa kagum karena aku jarang keluar rumah ketika matahari lagi puncak-puncaknya memanasi bola keristal biru tempat manusia beradaptasi, yach itu semua karena aku lebih senang mengisi momen tersebut dengan bersantai di kamar sambil minum es cream buatan Mba’ Is seraya membaca novel di samping kipas angin. Tapi setelah kupikir-pikir, aku siap menggosongkan badanku dengan berjemur di tengah teriknya matahari kota Balikpapan daripada melewatkan momen indah ini. Bahkan rasa lapar dan hausku mulai sirna lantaran berlebur dengan indahnya momen tersebut.
Walau panas membakar hingga ke dalam pori-pori kulitku, sungguh pada hari ini aku merasa lebih bersemangat ketimbang biasanya. Karena fellingku mengatakan “pertongan Allah semakin dekat.” Kulangkahkan kakiku dengan pelan tapi pasti seraya berdo’a dan berzikir disetiap derap langkahku.
Langkah demi langkah kutelusuri terotoar sambil sesekali menoleh kekanan dan kekiri dengan berharap ada orang yang kukenal untuk meminta bantuan. Baru saja lima langkah aku berjalan tiba-tiba melesat mobil Honda Jazz yang sudah tak asing di mataku. “mungkin itu mobilnya temanku Azzam” pikirku dalam hati, kucoba tuk melihat plat mobit tersebut dengan saksama, maka tampaklah dengan jelas plat mobil tersebut KT. 422 AM. “yach itu mobilnya Azzam temanku waktu masih SMA” ucapku dengan hati berbunga-bunga.
Kucoba tuk mengejar mobil tersebut dengan sisa-sisa tenagaku, tapi mobil itu terus saja melaju tanpa memedulikanku yang mengejarnya dengan terseok-seok. Hampir saja ku berhenti berlari, tiba-tiba mobil itu berhenti kuranglebih tigapuluh meter dari posisiku lantaran kemacetan menghadangnya. Baru saja aku ingin mengejar mobil tersebut, tiba-tiba adzan dzuhur berkumandang. Maka timbullah rasa bimbang di hatiku untuk memilih antara mengejar mobil tersebut atau menghadiri panggilan Allah tadi. Ingin sekali aku mengejar mobil itu, apalagi shalat itukan bisa dikoshor, pikirku dalam hati. Tapi sungguh aku punya prinsip untuk selalu melaksanakan salat fardu secara berjama’ah, pikirku ;lagi. Apalagi mengutamakan salat berjama’ah itu lebih baik, “bukanakah kalau kita mengutamakan urusan Allah maka Allah akan mempermudah urusan kita,” kataku dalam hati. Akhirnya kuputuskan untuk shalat dzuhur dulu baru mencari mobil tadi.
Kulangkahkan kakiku menuju masjid dengan terburu-buru lantaran takut tertinggal takbiratul ihram yang dipimpin sang imam. Tanpa fikir panjang aku berlari ke tempat wudhu dengan penuh hati-hati dikarenakan lantai tempat berwudhu tersebut terasa licin lantaran dibasahi oleh cipratan air bekas berwudhu. “Lantai ini basah tentu karena banyak hamba Allah yang menyucikan dirinya di tempat ini, sebelum mereka mengadukan keluh kesahnya kepada sang Kholiq.” Kataku dalam hati. “tapi bukankah islam itu agama yang menjunjung tinggi kebersihan. Bahkan ‘kebersihan itu sebagian dari iman’ al-hadits, tapi entah kenapa masih banyak orang islam yang malas untuk melakukan kebersihan. Hal ini terbukti dengan banyaknya lumut di tempat wudhu ini, bahkan bau amis kencing masih tercium hingga ke tempat wudhu. Padahal jarak antra aku dan kamar mandi kurang lebih 3 meter” gerutuku miris.
***
Selesai sudah aku menunaikan solat zuhur. Dan tentu, aku tidak berhenti sampai di situ saja. Tapi aku melanjutkanya dengan membaca al-qur’an kemudian memuroja’ah hafalanku yang tersendat-sendat lantaran tercecer di perjalanan hidupku. Selepas memoroja’ah hafalan benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan pertolongan Allah lewat orang yang tak kuprediksi serta lewat seluruh penjuru arah mata angin yang tentunya tidak kusangka-sangka. Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Waktu sudah menunjukkan pukul 03:15 WITA pertolongan tak kunjung datang.
Sungguh ketika itu aku benar-benar lapar, maka muncullah niat jahat di benakku ketika melihat sebuah kotak infak di masjid itu. Aku tau, jika aku menggambil uang tersebut akan berdampak buruk bagiku. “bisa saja ada orang yang melihatku sa’at membobol kontak infak itu dan lansung meneriakiku ‘MALING…!’ kemudian orang-oarang kampung berdatangan dengan membawa kayu dan golok untuk menghakimiku” pikirku dalam hati. Tapi sa’at itu rasa takut hilang lantaran dibenam oleh rasa laparku, bahkan rasa takut akan azab Allah yang akan menimpaku.
Senti demi senti kudekati kotak infak itu dengan mengesot sambil melirik ke kiri dan ke kanan dengan harapan tak ada orang yang datang. Setelah merasa aman, maka mulailah akau beraksi. Kumencoba membandrek gembok kotak infak itu dengan setangkai kawat yang kudapat di tempat solat akhwat, “mungkin kawat ini adalah penjepit rambut milik salah seorang akhwat yang jatuh” pikirku dalam hati. Tentunya jepit rambut itu sangat berharga bagiku, pasalnya dengan jepit rambut ini aku bisa membobol kotak infak itu. Setelah kurang lebih 3 menit aku mencoba membandrek gembok tersebut, tiba-tiba “krekk..!” gembok itu terbuka. Dengan hati berbunga-bunga kumencoba membuka gembok itu dari pengaitnya, tiba-tiba seorang anak berumur 6 tahun menegurku.
“Kaka lagi ngapain?..” tanyanya dengan lugu,
“kaka mau menncuri ya?..” tanyanya lagi penuh selidik.
“Tidak…!” kataku membela diri.
“kaka malah ingin mengembok kotak infak ini supaya uangnya tidak diambil oleh orang jahat, karena tadi kaka melihat gemboknya terbuka. Mungkin petugas takmirnya lupa menguncinya” sambungku lagi.
“Oo.. begitu, berarti kaka ini orang baik dong” kata anak itu.
JRENGG..! sepontan tubuhku merinding setelah mendengar perkataan anak itu. “Bagaimana munkin aku yang ingin mencuri dikatakan baik oleh anak ini” kataku dalam hati.
Tiba-tiba anak itu memecah lamunanku dengan pertanyaanya. “Kak, kaka pasti dari pesantren kan?..” tanyanya penasaran.
“I.. ia, memangnya kenapa?..” tanyaku heran.
“Kaka kan orang baik tuch, berarti kaka dari pesantren. Karena kata ummy, anak pesantren itu baik-baik, karena ia selalu belajar ilmu agama” kata anak itu dengan semangat sekalipun terbata-bata.
“Emm.. ia, anak pesantren pastinya berakhlaq yang baik, karena itu sudah menjadi kewajiban bagi mereka.” Kataku menjelaskan, meskipun pada sa’at itu aku amat sangat malu dengan anak itu. Pasalnya aku memang seorang santri dan tidak sepantasnya aku mencuri apalagi sampai menutupinya dengan kebohongan lagi.
Akhirnya kupustuskan untuk berwudhu dan solat dua rokaat serta beristigfar untuk membalas kesalahanku tadi. Seusai memohon ampun kepada Allah, tiba-tiba anak tadi mengajakku pergi ke rumahnya untuk menghadiri  sebuah hajatan.
Beberapa saat kemudian aku tiba di rumah anak itu, kemudian ia mengajakku untuk masuk ke rumahnya. Baru saja aku ingin masuk kerumah anak itu, tiba-tiba ada seseorang menyapaku.
“Fahmi..!, antum Fahmi kan?..” tanya pemuda itu ragu seraya mendatangiku.
“Emm.. ia, tapi antum siapa ya?..” aku balik bertanya.
“Ana Akbar, temen antum waktu di MA Radhiatan Mardiyyah dulu” katanya bersemangat, “masa’ sich antum lupa” sambungnya lagi seraya menepuk pundakku.
”Akbar yang kurus itu?..” tanyaku heran
“Ia, memangnya ada yang salah?..” jawabnya tersenyum sambil mengangkat kedua tanganya.
“Antum makan apa, ko sampai segemuk ini akh?..” tanyaku sambil memukul perutnya.
“makan pasir” jawabnya sambil menahan sakit pukulanku
Oh-ya sobat aku sampai lupa memberitahu kalian kalau Akbar ini adalah temanku waktu masih di Madrasah Aliyah. Yach kami sudah lama berpisah sejak kami masih duduk di bangku kelasa 2 MA. Ketika itu dia melanjutkan pedidikanya di Surabaya karena ayahnya dimutasi untuk menjadi pimpinan cabang Bank Mandiri di sana, sementara aku tetap di MA tersebut.
Kemudian setelah lulus dari MA di Surabaya ia pindah ke Balikpapan untuk menjadi pengusaha pasir putih dan menikah dengan Anisa Faizah putri Ust, Saiful  yang menjadi ‘bunga sekolah’ ketika kami masih duduk di bangku kelas 2 MA.
Oh-ya sobat ketika MA dulu Akbar ini orangnya kurus, tapi entah kenapa sekarang badanya sudah 4 kali lipat dari badanya ketika kami masih di Madrasah Aliyah dulu dan yang membuat aku lebih kaget lagi teryata anak kecil tadi adalah anak petamanya Akbar, bahkan acara yang ada di rumahnya sekarang ini adalah aqikahan anaknya yang ketiga.
“Bener-bener WOW..!” kataku keceplosan
Yupzz aku sampai lupa sobat, perkenalkan namaku Zulfahmi, tapi temen-temen lebih suka memanggilku Fahmi dan aku sudah 5 tahu tidak bejumpa dengan temanku Akbar, pasalnya semenjak kepindahanya ke Surabaya kami tidak pernah bertemu lagi. Ketika lagi asik mengobrol dengan Akbar, tiba-tiba anaknya datang.
“Pa..! papa kenal dengan kaka ini” Tanya anaknya tidak sabar sambil menarik tangan kananya Akbar.
“Ini temen papa waktu masih sekolah dulu” kata Akbar menjelaskan, kemudian ia memerintahkan anaknya untuk mengajakku masuk.
“Darris, ayo ajak Om Fahmi masuk”
“Ia pa.., yuk kita masuk Om” katanya seraya menarikku masuk kerumahnya.
Tanpa pikir panjang aku langsung masuk kerumah tersebut dan tentunya langsung mengambil posisi paling setrategis. Yach tepatnya di depan nampan yang berisi gulai, sate, rendang, acar dan pastinya ada nasinya.
Setelah memanjatkan do’a untuk purta ke tiganya Akbar, kamipun meyantap hidangan yang disediakan. Sungguh hari itu aku amat sangat berbahagia, ibarat seorang musafir yang kehausan dipadang pasir kemudian menemukan sebuah oase. Andai saja aku tidak punya malu mungkin sudah kuhabiskan semua hidangan yang ada di depanku. Ketika itu aku makan dengan amat sangat lahap, pasalnya aku sangat-sangat kelaparan. Ketika lagi lahap-lahapnya makan tiba-tiba Akbar menegurku.
“Biasa aja dong makanya Mas bro[1]” kata Akbar menggodaku
Spontan wajahku memerah menahan malu, kemudian aku berkata “antum macam don’t know ajach bro,[2] santri GTL[3]” kataku basa-basi.
“eh kamu masih suka brizing[4] tah?..” katanya menggodaku lagi
“masih..! brizing sate” kataku sebel seraya menyambar 3 tusuk sate di depanku.
“gimana kabarnya si dia?..” Akbar mulai lagi menggodaku, tapi aku tidak memedulikanya, pasalnya aku lebih khusyu dengan makananku.
“marah nich?..” katanya lagi seraya mencolek pinggangku kemudian berkata “eh habis ini nggak ada amplopnya lho?.. jadi jangan berharap ya..!”
“takut banget sich..!” kataku sebel
Selesai makan akupun menceritakan kejadian yang baru saja aku alami kepada akbar, boro-boro prihatin Akbar malah menertawaiku. Hampir aja aku pergi meninggalkan dia pada sa’at itu. Untung Akbar buru-buru menahanku seraya berkata “tes kesabaran  bro?...”, kemudian dia mengingatkan aku tentang sebuah ayat yang artinya ‘Allah tidak akan menguji hambanya diluar kemampuanya’
“dibalik kesulitan pasti ada kemudahan dan ini merupakan pelajaran buat kita untuk lebih berhati-hati” katanya menasihatiku.
“terbukti kan? ternyata Allah masih sayang kan kepadamu, sehingga dia mengutus anakku untuk menolongmu. Padahal tadi anakku ke masjid tadi untuk mengambil kep rambut milik istriku yang tertinggal. Coba kamu bayangkan kalau Allah tidak menggerakkan anakku ke sana, mungkin kamu sudah menjadi pencuri beneran dan kamu tidak kenyang dengan makanan yang halal seperti sekarang, ya nggak bro” kata Akbar seraya menepuk bahuku.
Tanpa pikir panjang aku lansung sujud syukur seraya mengucapkan ‘Alhamdulillah’ karena Allah telah menologku dari rasa lapar dan perbuata dosa. Dari kejadian inilah yang membuatku semakin cinta kepada Allah S.W.T. Kemudian akupun menginap di rumahnya Akbar selama satu malam untuk mempererat persaudaraan kita sekaligus melampiaskan rasa rindu kami dengan sholat lail bersama sepeti ketika kami masih santri dulu. Selepas shalat subuh, tepatnya di saat mentari masih malu-malu menampakkan wajahnya kepada dunia. Aku dan Akbar meluncur dengan Honda Jazz silver menuju kota Samarinda.


[1] Panggilan sahabat, ketika kami masih MA
[2] Bahasa gado-gado yang sering digunakan santri ketika itu
[3] Gitu loh
[4] Mencari buah di hutan
Teruskan :

Posting Komentar

Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Asosiasi Penulis Islam (API) Surabaya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger