Aku Bukan Untukmu

Oleh: Ghifari*

Hari itu langit terlihat meringis lantaran gerimis selalu metetes, laksana butiran-butiran keristal bening yang berhambur dari gumpalan awan yang lagi cemberut dengan wajah muram keabu-abuan. Tapi hal itu tidak menyurutkan semangatku untuk menuntut ilmu di salah satu Universitas swasta di kotaku. Tapi tiba-tiba HPku berdering hingga menbuyarkan wirid pagiku yang tinggal satu lembar lagi.
“Kringg.. kringg.. kringg..” (telpon bordering)
“Maaf.., ini siapa yach?..” seraya menggaruk kepala.
“Ini Nisa.., kak” kata suara disebrang sana.
“Begini kak, aku ingin menayakan suatu hal yang amat serius buat kaka dan kak Niar” sambung orang di sebrang sana..

“Apa itu dik?..” tanyaku penasaran seraya memfokuskan pendengaranku.
“Apakah kaka siap untuk menjadikan kak Niar sebagai pendamping hidup kaka dalam waktu dekat ini, karena ka’ Niar tidak ingin hubungan kaka dan ka’ Niar berlarut-larut tanpa ada kejelasan” kata Nisa dengan tegas.
Sepontan wajahku memerah dan rasa bimbang menggerogoti jiwaku, kucoba menarik nafas untuk mengendalikan emosiku kemudian berkata, “maaf dik..!” dan langsung diam seribu bahasa.
Hanya kata itu yang bisa terucap dari mulutku, bukan karena aku tak mau, tapi karena belum adanya kesiapan lahir maupun batin atas diriku.
“Bagaimana mungkin aku menjalani sesuatu hal yang aku sendiri belum siap akan hal itu dek”, kembali kusapa gadis yang begitu setia menunggu jawaban di seberang telepon sana.
“Dek kakak tau ini berat buat dik Nisa, tapi ini jauh lebih berat buat kakak, bagaimana tidak terkadang orang hanya memikirkan bahwa menikah itu indah, tanpa harus memikirkan akibat kedepanya. Ibarat melihat sebuah pulau ketika kita berlayar kita hanya melihat keindahan pulau tersebut tanpa memikirkan bahwa di dalam pulau itu ada binatang buas, jurang yang membahayakan begitu pula dengan suatu pernikahan, tidak cukup dengan kata cinta dik” kataku menjelaskan, kemudian kembali lagi aku memberikan perumpamaan “ibarat sebuah kapal jika masih di tepi pantai ombaknya biasa saja, mulai ketengah mulai tersa dan sambai pada lautan lepas maka gelombangnya semakin besar, begitu pula dalam sebuah pernikahan dik” kataku dengan gemetar.
 “Halo...halo dik Nisa,kakak tau akan perasaanmu sebagai teman buat Niar dan sekaligus sebagai saudara kandung kakak, tapi jujur dik, kakak memang belum siap untuk menikah jawabku tegas. Oleh karna itu sampaikan kepada ukhti Niar bahwa kakak belum siap, bukan karna kakak tak cinta dengan ukhti Niar. Bukan!, tapi memang kakak belum siap dik, berikan penjelasan sedetail mungkin untuknya dik” kataku tergesa-gesa.
“Ya udah kalau begitu kakak mau berangkat kuliah jangan lupa sampaikan salam kakak untuk ukhti Niar, dan jangan lupa belajar yang rajin kamu” sambungku.
“Assalamu alaikum..” lanjutku seraya menutup telepon.
Tut.. tut.. tut,, (suara telpon terputus)
***
Setelah menjelaskan panjang lebar kepada Mba Niar, Nisa begitu lega walaupun dia tau ada gurat kekecewaan yang nampak pada wajah cantik Mba Niar, selang berapa minggu kemudian setelah Nisa pulang kuliah dia mendapatkaan Mba Niar sudah ada di kamar. kebetulan memang Niar dan Nisa satu kos bareng, bahkan sekamar.
“Udah pulang Nis?..”
“Iya Mba” jawab Nisa kalem.
“Tumben..!, Mba Niar sendiri kok pulangnya cepat?.., tidak seperti biasanya!” sambung Nisa.
“Memang hari ini Mba Niar berbeda?..” Tanya Niar sambil melirik centil ke arah Nisa, kemudian berkata “iya dik Nisa, mbak lagi nggak enak badan nich” kata Niar seraya merebahkan badanya ke atas tempat tidur.
”Mbak Niar sakit kok nggak bilang-bilang sich” kata Nisa prihatin seraya memperhatikan wajah Niar.
“Mata Mba Niar kok bengkan, mbak Niar habis nanggis ya?.., cerita dong mbak kalau lagi ada masalah” tanya nisa penuh selidik.
Tiba-tiba Mba Niar memeluk tubuh munggil Nisa sambil menangis.
“Nis..” kata Niar sambil menagis. “
“Iya Mba..” jawab nisa heran seraya mengelus punggung Niar.
“Nis kaka mau dinikahkan Nis” kata Niar dengan terbata-bata.
 “Apa..!” aku kaget bukan kepalang, “dengan siapa Mbak?,,” tanyaku penasaran.
“Begini Nis, seminggu yang lalu ayah kaka menelpon bahwa ada anak kebarabat dekatnya yang akan dijodohkan dengan kaka, namanya Ahmad Husairi tamatan Lipia. Kaka binggu Nis” kata Niar dengan mata berkaca-kaca.
“Aku mencintai kakakmu, tapi kaka tak bisa menolak atau membantah permintaan orangtua kaka Nis, apa yang harus kaka lakukan?..” sambung Niar dengan air mata yang tumpah di pipinya.
Aku tau mba niar benar-benar dalam kebingunggan yang teramat sangat, tapi aku bisa apa-apa untuknya. Bahkan ketika itu aku hampir ikut menangis.
“Mba Niar yang sabar ya..” kataku sambil mengelus bahunya.
“Kalau begitu tolong sampaikan salam kaka pada kakakmu dan berikan ini pada kakakmu” kata Niar sambil menyedorkan selembar surat kepada Nisa.
”Sekalian Mba Niar mau pamit Nis, maaf ya.. kalau selama ini Mba banyak salah sama kamu” sambung Niar dengan mata yang masih memerah.
“Aku juga Mba” balas Nisa dengan mata yang juga berkaca-kaca seraya diikuti dengan isak tanggis keduanya.
***
Pagi ini Nisa hendak pulang ke bontang, sekalian untuk liburan. Dalam perjalanan dari balikpapan ke bontang nisa tak henti-hentinya berdoa seraya membayangkan bagaimana perasaan kakaknya jika mendengar berita ini. pasalnya orang yang sangat dicintainya akan menjadi milik orang lain. Nisa sengaja tidak memberitahukan kepulanganya kepada kakak semata wayangnya, kalau dia akan pulang.
Sesampainya di terminal bontang, Nisa langsung memanggil taksi,
“Mas.., BTN Pupuk kaltim” kata Nisa sambil merapikan jilbabnya kemudian Nisa naik ke mobil.
Dalam perjalan pulang ke kerumahnya, ada rasa was-was dan bimbang yang mendera Nisa, pasalnya ia masih memikirkan bagaimana perasaan kaka’nya ketika mendengar bahwa Niar akan menikah.
Tak terasa 20 mentit berjalan dan melewati beberapa pos security, sampailah Nisa di halaman rumahnya yang terlihat indah dengan berhias taman-taman bunga serta pot-pot yang tersusun apik di atas rak-rak yang berbentuk tangga dan melingkar.
”Assalamu alaikum.” Salam Nisa seraya menGetuk pintu.
“Wa alaikum salam” jawab seorang perempuan paruh baya dari dalam. Nisa begitu hafal dengan suara itu, Yach itulah suara orang yang telah melahirkan dan yang membesarkannya. Setelah pintu dibuka, betapa kagetnya Bu Nursiah bagitu melihat anak gadis sematawayangnya sudah berdiri di hadapanya.
“Nisa kok pulang tidak kasih kabar sama ummy sih, sayang?.. Tanya bu Nursiah heran.
Nampak jelas gurat kebahagiaan di muka Bu Nursiah yang mulai keriput lantaran dimakan usia. Tak henti-hentinyah Bu Nursiah mencium Nisa tuk melampiaskan rasa rindunya yang tak tertahan.
“Bu kak Ghifari kemana?..” tanya Nisa penasaran
“Oh kakakmu lagi ke BK (Bontang kuala) sama teman-temanya, sebentar lagi pulang” kata Bu Nursiah sambil membuat secangkir teh untuk Nisa. Setelah selesai menunaikan sholat ashar, Nisa langsung membantu ibunya memasak di dapur.
“Bremm.. bremm.. bremm..” (suara sepeda motor)
“Bu kayaknya itu suara motornya kak Ghifari” kata Nisa seraya mengintip lewat jendela.
“Emm.. ia, sana sambut kakakmu” kata Bu Nuesiah kepada putrinya.
Tanpa pikir panjang Nisa lansung meninggalkan ibunya di dapur dan segera ke depan membukakan pintu untuk kakaknya.
“Assalamu alaikum” kataku seraya mengetuk pintu.
Kemudian Nisa membuka pintu seraya menjawab salamku “Wa alaikum salam”
Sungguh sore itu akau amat kaget, kaget bukan kepalang. Pasalnya adik kesayanganku tepat berdiri dihadapanku.
“kamu kapan datang?..” tanyaku heran.
“Ah kakak bukanya dipeluk malah nanya-nanya, apa nggak kangen ma Nisa yang beautiful ini?..” jawab Nisa dengan manja sambil menkerutkan pipinya.
“Ya kangenlah, sini kaka peluk” kataku seraya memeluk adikku.
“Emmh.., kaka bau acem” kata Nisa mulai menggodaku.
“Yaialah, kan baru datang” kataku seraya melepas pelukakanku, kemudian menyerangnya dengan berbagai pertanyaan.
“Kamu pulang ko’ nggak kasih kabar sich?..”
“Kamu kan bisa nelpon kaka atau ummy sebelum pulang..!”
“kalo kenapa-kenapa di jalan gimana?..”
“Kan di diterminal nanti kaka bisa jemput”
“Atau kakak bisa jemput ke gutem (gunung tembak) lansung” Cerocosku sebel.
 “Ah.., kaka nggak usah lebay gitu nah, lupakan ajach. Intinya kan, Nisa sudah sampai” gerutu Nisa.
***
Setelah mandi akupun melangkahkan kakiku ke masjid untuk menunaikan sholat magrib berjamah. Jarak masjid dan rumahku tidaklah seberapa jauh, kurang lebih 25 meter saja. Tak berpa lama selepas azan berkumandang, jamaah sudah memenuhi 4 shof dari majid Ar-Riyadh di perumahan pupuk kaltim tersebut. Tapi lantaran Pak Ismail selaku imama di masjid tersebut tak kunjjung datang, akhirnya akulah yang didorong jamaah untuk mengimami sholat magrib tersebut. Selepas menunaikan sholat akupun membaca ala-qur’an 2 halaman saja, yupz.. beginilah kegiatan yang selalu aku lakukan selepas sholat lima waktu, karena sesuai dengan sabda Rosululloh: “seungguhnya Allah lebih menyukai amalan yang kecil, tetapi dilakukan terus-menerus” kemudian akupun makan malam bersama Ummy dan de’ Nisa. Sesudah makan malam Nisa mengajakku ke ruang tamu untuk membicarakan tentang ukhti Niar.
“Kak.. ada yang Nisa mau sampaikan ke kakak” kata Nisa sambil meremas-remas tangannya.
“tentang apa Nis?..” tanyaku penasaran seraya menarik-narik janggutku.
“Tentang Mba Niar kak..” kata Nisa raut wajah cemas.
“Memangnya kenapa dengan Mba Niar?..” tanyaku bimbang.
“Mba Niar kak, (diam beberapa saat, kemudian menarik nafas) Mba Niar mau dinikahkan dengan orang tuanya minggu ini” kata Nisa dengan wajah prihatin.
Bak disambar petir ketika aku mendengar berita itu.
“Apa..! Kok kamu nggak cerita sebelumnya sama kaka dek?..” kataku seraya bangkit dari dudukku.
“Mba Niar melarangnya kak, karena dia tak mau kaka bersedih di saat dia harus berbahagia” kata Nisa menjelaskan.
Sungguh, hari itu aku amat-sangat terpukul dan aku amat kecewa denga Niar, pasalnya kita pernah berjanji untuk menungguku hingga kuliahku selesai dan menikah bersama. Tapi pada akhirnya Niar menikah dengan orang lain, tak terasa butir-butir air mataku keluar dan mengalir di kedua pipiku.
“Ya Allah, jika Niar bukanlah jodohku maka berikanlah dia suami yang jauh lebih baik daripada diriku dan berikanlah aku istri yang jauh lebih baik daripada Niar” ucapku seraya menegadahkan kedua tanganku.
“Kakak yang sabar ya, mungkin semua ini ada hikmahnya buat kaka dan Mba Niar. Karena apa yang kita anggap baik, belum tentu itu yang terbaik. Karena jauh di kejauhan sana Allah telah mencatat apa-apa yang terbaik” ucapa Nisa seraya mengelus bahuku.

*)Penulis adalah Mahasiswa STAI Luqman Al-Hakim Surabaya jurusan Komunikasi dan aktifis LDK STAIL Surabaya.
Teruskan :

Posting Komentar

Tanggapi atas dasar dari lubuk hati dengan ilmu yang Anda miliki..

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Asosiasi Penulis Islam (API) Surabaya - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger